Penulis: Zulkarnaen | Editor: Hadi S Purwanto
JAKARTA, SWARAJOMBANG.com – Setelah pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, kondisi sosial dan politik di Tanah Papua cenderung mengalami peningkatan eskalasi yang cukup signifikan, meski dua Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunan implementasi dari UU tersebut sudah diterbitkan.
Selain isu tentang Otonomi Khusus Jilid II yang secara umum masih menuai polemik, salah satu poin di dalamnya yang mengamanahkan tentang pemekaran daerah, pun sedang menuai perdebatan di tengah masyarakat.
Beberapa hari sebelumnya, ratusan mahasiswa di Jayapura menggelar demonstrasi penolakan atas rencana pemekaran.
Demonstrasi yang digelar di tiga titik, yaitu di Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Perumnas III Waena, depan Jalan SPG Teruna Bakti dan Kampus Uncen Abepura sempat melumpuhkan aktivitas masyarakat di Jayapura.
Isu pemekaran yang berimplikasi pada lahirnya daerah otonomi baru (DOB) dipandang akan memberi ekses negatif pada orang asli Papua (OAP).
Dalam kunjungan serap aspirasi yang dilakukan oleh Ketua Komite II DPD RI, Yorrys Raweyai, bersama DPRP, Perwaklan Komnas HAM, dan Perwakilan organisasi-organisasi Mahasiswa di Papua, diperoleh berbagai pemikiran yang secara umum memandang pemekaran di Tanah Papua akan melahirkan “bom waktu” yang menggerus eksistensi OAP di masa yang akan datang.
Kunjungan Yorrys Raweyai, yang juga merupakan Ketua MPR for Papua tersebut berlangsung pada tanggal 9-12 Maret 2022 di Gedung DPR Papua, Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua dan Hotel Suni Garden, Sentani, Papua.
Berdasarkan serangkaian pertemuan tersebut juga disiumpulkan bahwa tujuan pemerataan pembangunan dan maksimalisasi kesejahteraan melalui pemekaran wilayah dipandang tidak akan tercapai.
Sumber daya manusia dan infrastruktur daerah belum sepenuhnya siap untuk menerima kebijakan pemekaran. Akibatnya, masyarakat asli Papua hanya akan menjadi penonton dan objek pembangunan.
“Lahirnya DOB di Tanah Papua hanya akan semakin memarjinalisasi orang asli Papua yang sejak puluhan tahun cenderung terabaikan dalam proses pembangunan. Hal ini ditambah dengan lahirnya UU Otsus Jilid II yang menarik kewenangan daerah ke Pusat”, tegas Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda.
Isu pemekaran lahir dari kebijakan baru yang tertuang dalam Perubahan Kedua atas UU Otonomi Khusus yang isinya sebagian besar hanya merupakan gagasan Pemerintah Pusat, bukan aspirasi daerah.
Wakil Rakyat di DPR yang sejatinya mampu menyuarakan aspirasi rakyat, terkesan menutup mata atas aspirasi daerah.
Sementara itu, perwakilan Komnas HAM Papua menyebut kebijakan pemekaran harus dipertimbangkan dengan matang.
Aspek-aspek kemanusiaan sebagai subjek pembangunan harus dipikirkan dan menjadi piranti penting di dalam isu tersebut.
Diperlukan korelasi efektif antara kebijakan pemekaran dan upaya maksimal untuk merespons berbagai isu pelanggaran HAM di Papua.
“Eskalasi pelanggaran HAM yang semakin meningkat paska kebijakan Otonomi Khusus Jilid II diterbitkan, harus menjadi perhatian penting. Jangan sampai pemekaran ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masalah yang berlangsung selama ini. Karena itu, sebaiknya, pemekaran wilayah harus menjadi bagian daripada solusi persoalan HAM, bukan memantik persoalan-persoalan baru di masa yang akan datang”, ujar Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Firtz Ramandey dalam paparannya, Rabu 9/3/2022.
Dalam rangkaian serap aspirasi, Yorrys Raweyai juga menyempatkan bertemu dengan perwakilan mahasiswa Papua dari GMKI, GMNI dan HMI.
Senada dengan Wonda dan Ramandey, perwakilan mahasiswa memandang kebijakan pemekaran hanya akan melahirkan persoalan baru di Tanah Papua.
Pemekaran cenderung hendak menggkanalisasi kompleksitas persoalan sebatas anggaran dan keuangan semata.
Padahal, akar persoalan selama ini tidak lepas dari penghargaan atas harkat, derajat dan eksistensi orang asli Papua.
“UU Otsus Jilid II tidak melahirkan solusi persoalan di Papua. Sebaliknya, isu-isu yang tercantum dalam UU ini hanya memenuhi hasrat Pemeriantah Pusat yang hendak menarik kewenangan daerah ke pusat, ujar Nawal Syarif, perwakilan organisasi HMI Papua, Kamis (10/3/2022).
Perwakilan GMKI, Viktor Tibul, menyatakan bahwa pemekaran adalah kebutuhan pemerintah pusat, bukan keinginan masyarakat Papua.
“Mayoritas masyarakat Papua menolak pemekaran”, ungkapnya.
Penolakan terhadap kebijakan pemekaran merupakan konsekuensi logis daripada UU Otonomi Khusus Jilid II yang tidak mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat Papua yang menghendaki apapun kebijakan tentang Papua harus lahir dari daerah, bukan dari pemerintah dan DPR.
Sebagai UU yang mengandung kekhususan (lex specialis) seharusnya kebijakan pemekaran muncul dari masyarakat Papua melalui MRP, bukan dari Pemerintah Pusat dan DPR.
Mendengar berbagai aspirasi tersebut, Yorrys Raweyai menyampaikan pandangan tentang pentingnya pemerintah pusat menyosialisasikan isu-isu dan kebijakan di Papua dengan baik dan intensif. Berbagai perbedaan pandangan tentang UU Otonomi Khusus Jilid II maupun PP turunan dari UU tersebut harus dikomunikasikan dengan baik dan bijak.
Sebab, menurut Yorrys Raweyai, baik pemerintah pusat maupun masyarakat Papua sesungguhnya berkeinginan sama, yakni menghadirkan tatanan kehidupan yang lebih baik dari masa lalu yang terabaikan.
“Diperlukan kesamaan visi dan paradigma tentang bagaimana melihat persoalan secara komprehensif. Kecurigaan-kecurigaan yang selama ini bermunculan telah menjelma menjadi situasi yang kontraprodiktif yang justru menyebabkan masyarakat menjadi pihak yang dikorbankan”, ungkap Yorrys dalam keterangannya di hadapan wartawan, Kamis 10/3/2022.
Yorrys justru memandang pentingnya saat ini untuk berfokus pada penyusunan Perdasi dan Perdasus yang merupakan turunan dari PP yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Pusat.
Perdasi dan Perdasus itulah yang nantinya menjadi instrumen sejauh mana penerapan Otonomi Khusus Jilid II berjalan konsisten.
Keduanya pun merupakan rentang kendali bagi masyarakat dan pemerintah untuk secara bersama melihat perkembangan lanjutan dari berbagai hasil kebijakan.
“Sepertihalnya kebijakan pendidikan gratis dari tingkat terendah hingga tertinggi bagi orang asli Papua sebagaimana tercantum dalam PP, mekanismenya harus dijelaskan secara rinci dalam Perdasi dan Perdasus. Khususnya terkait dengan sumber pendanaan, kebijakan lembaga pendidikan tingginya, dan lain sebagainya. Jika tidak dijelaskan, maka implementasinya akan menuai kesemrawutan akibat ketidaksamaan visi dan misi,” jelas Yorrys dalam.
Yorrys memahami bahwa perubahan kebijakan ini tidaklah mudah dilakukan. Akan banyak penentangan dan penolakanm serta penerimaan. Namun semuanya harus didialogkan dengan komprehensif.
Sebab persoalan Papua bukanlah persoalan baru, namun persoalan yang sudah berlangsung selama rentang waktu puluhan tahun.
Menyelesaikannnya pun tidak mungkin dalam waktu singkat seperti membalik telapak tangan.
Ego-ego sektoral dari sekian banyak kepentingan di Tanah Papua, baik kepentingan kultur, tradisi, budaya, ekonomi hingga politik, harus sedapat mungkin dikomunikasikan dengan baik.
“Memang pelik dan ruwet. Namun tanpa kesadaran dan komunikasi aktif dan intens, kita hanya akan melahirkan persoalan baru di masa yang akan datang. Dan, rakyat Papua-lah yang akan menjadi korban,” pungkas Yorrys.