Penulis: Adi Wardhono | Editor: Priyo Suwarno
REMBANG, SWARAJOMBANG.COM- Pemblokiran atau pelarangan akses jalan tambang di Desa Tegaldowo, Rembang, yang berdampak pada operasional PT Semen Gresik, merupakan keputusan resmi dari Pemerintah Desa (Pemdes) Tegaldowo.
Keputusan ini diambil sebagai bentuk perlawanan terhadap langkah PT Semen Indonesia yang terus mengajukan upaya hukum, termasuk kasasi ke Mahkamah Agung, dalam sengketa kepemilikan jalan yang diklaim sebagai aset desa.
Aksi blokade dilakukan oleh perangkat desa bersama warga, dan diputuskan melalui musyawarah desa (Musdes), sehingga merupakan hasil kesepakatan kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat setempat.
Kepala Desa Tegaldowo, Kundari, serta perangkat desa seperti Eko Purwanto, secara terbuka menyatakan bahwa tindakan ini adalah upaya mempertahankan aset desa dan akan terus dilakukan selama hak desa dianggap diabaikan oleh perusahaan.
Jadi, yang memerintahkan pelarangan atau blokade adalah Pemerintah Desa Tegaldowo, dipimpin oleh Kepala Desa dan didukung oleh perangkat desa serta hasil kesepakatan warga melalui musyawarah desa.
Pabrik PT Semen Gresik di Rembang, Jawa Tengah, resmi menghentikan operasional produksinya sejak 1 Juni 2025. Penghentian ini terjadi akibat pembatasan akses suplai batu kapur—bahan baku utama produksi semen—yang diberlakukan oleh Pemerintah Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang.
Efek lanjuutannya, PT Semen Gresik mulai merumahkan karyawannya sejak penghentian operasional pabrik di Rembang pada 1 Juni 2025.
Keputusan merumahkan ini diambil sebagai dampak langsung dari terhentinya produksi akibat pembatasan akses suplai batu kapur, yang terjadi sejak awal Juni 2025 setelah jalan tambang utama diblokir oleh Pemerintah Desa Tegaldowo karena sengketa aset jalan.
Sebanyak 478 karyawan, mayoritas tenaga outsourcing, mulai dirumahkan sejak tanggal tersebut dan jumlah ini bisa bertambah jika konflik tidak segera terselesaikan
Penutupan akses jalan tambang ini membuat truk pengangkut bahan baku tidak bisa keluar masuk pabrik, sehingga suplai batu kapur ke pabrik terhenti dan produksi tidak dapat berjalan.
Akar masalahnya adalah sengketa kepemilikan jalan tambang yang digunakan untuk pengangkutan bahan baku. Pemerintah Desa Tegaldowo menutup jalan tersebut karena telah dinyatakan sebagai aset desa berdasarkan dua putusan pengadilan (PTUN Semarang dan PTTUN Surabaya), dan saat ini proses hukum masih berlanjut ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Pihak desa menyisakan akses selebar tiga meter yang bisa dilalui truk kecil, namun pihak pabrik memilih tidak menggunakan jalur tersebut karena dianggap tidak memadai untuk kebutuhan operasional normal.
Dampak pada Karyawan
Akibat penghentian operasional, sebanyak 478 karyawan—mayoritas tenaga outsourcing—terpaksa dirumahkan sementara waktu. Jumlah ini berpotensi bertambah jika konflik tidak segera terselesaikan hingga Juli 2025.
Dampak PHK atau dirumahkannya karyawan juga dirasakan oleh warga sekitar, misalnya di Desa Tegaldowo sekitar 89 warga kehilangan pekerjaan, dan di Desa Ngampel, Blora, puluhan pekerja juga terdampak. Selain karyawan langsung, warga yang memiliki armada pengangkut atau jasa terkait operasional pabrik juga terkena imbasnya.
Manajemen PT Semen Gresik menyatakan telah melakukan penyesuaian pekerjaan, menjalin komunikasi transparan dengan para pemangku kepentingan, dan mengambil langkah mitigasi untuk meminimalkan dampak terhadap karyawan, masyarakat, dan lingkungan.
Perusahaan juga memanfaatkan waktu penghentian ini untuk perbaikan sarana dan prasarana, serta memastikan ketersediaan produk bagi pelanggan selama masa transisi.
Proses hukum sengketa jalan tambang masih berjalan di tingkat kasasi. Pemerintah desa dan perusahaan sama-sama berharap ada solusi yang menguntungkan semua pihak sehingga operasional pabrik bisa kembali berjalan dan para pekerja dapat kembali bekerja.
Sementara itu, sebagian karyawan mulai mencari alternatif pekerjaan atau mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keterampilan sebagai langkah antisipasi.
Penghentian operasional PT Semen Gresik Rembang terjadi akibat konflik sengketa aset jalan tambang dengan pemerintah desa, yang berdampak langsung pada ratusan karyawan yang terpaksa dirumahkan.
Penyelesaian konflik dan proses hukum yang masih berjalan menjadi kunci agar pabrik dapat kembali beroperasi dan memulihkan nasib para pekerja serta ekonomi lokal.**