Penulis: Wibisono | Editor: Yobie Hadiwijaya
JOMBANG, SWARAJOMBANG.COM-Regulasi baru terkait Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Korban Kekerasan yang disahkan oleh DPRD dan Pemerintah Kabupaten Jombang, menuai sorotan dari sejumlah aktivis. Draf Perda tersebut dianggap belum sepenuhnya merespons kebutuhan riil korban di lapangan, bahkan beberapa pasalnya dinilai masih terlalu normatif.
Direktur Women Crisis Center (WCC) Jombang, Ana Abdilah, menyampaikan bahwa pengesahan perda ini memang merupakan langkah penting di tengah tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jombang. Namun, menurutnya, beberapa substansi dalam perda itu masih belum menyentuh persoalan mendasar yang dihadapi para korban serta pendamping di daerah.
“Secara garis besar, aturan ini masih bersifat umum dan kurang memberikan solusi konkret atas permasalahan di lapangan. Belum ada penegasan soal mekanisme pelindungan terpadu, aspek pendanaan, hingga perlindungan terhadap saksi dan korban,” ujarnya, Selasa (22/4/2025).
Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Jombang, tercatat sebanyak 222 kasus kekerasan terjadi sepanjang Januari hingga November 2024, mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 133 kasus. Selain itu, WCC Jombang juga mencatat tren kekerasan seksual dalam tiga tahun terakhir, di mana 17 persen pelaku di antaranya merupakan ayah kandung atau ayah tiri korban.
“Kenyataan ini membuktikan bahwa kekerasan banyak terjadi di lingkungan rumah tangga, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman,” ucap Ana.
Ia menyayangkan perda ini belum memuat secara detail kewajiban pemerintah daerah dalam membangun jejaring lintas sektor yang melibatkan lembaga kesehatan, aparat hukum, organisasi masyarakat, serta penyedia layanan perlindungan berbasis komunitas. Termasuk, belum mengatur partisipasi aktif dari masyarakat, satuan pendidikan, hingga perguruan tinggi.
“Pasal 28 misalnya, masih sebatas penguatan antar-UPTD saja, belum antar jejaring di level daerah. Belum ada pengaturan khusus soal berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak,” katanya.
Selain itu, Ana menyoroti belum adanya ketentuan mengenai siapa saja yang dapat menjadi pendamping korban, serta lemahnya pengaturan soal penyediaan rumah aman atau shelter dengan standar perlindungan layak bagi korban.
“Kami berharap perda ini tidak hanya jadi formalitas di atas kertas, tapi betul-betul berpihak pada korban dan mampu menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat,” ucapnya.***