Penulis: Hadi S Purwanto | Editor: Wibisono
JOMBANG, SWARAJOMBANG.COM – Bak topik besar yang diusung mahasiswa seantero negeri dalam demo spekan terakhir, polemik tunjangan perumahan DPRD Jombang juga terbilang kental atmosfir ‘Indonesia Gelap’.
Ditengah misteri appraisal tunjangan perumahan DPRD Jombang tahun 2021 yang (sebenarnya) entah ada atau tidak itu, tiba-tiba appraisal susulan dilakukan pada 2024.
Padahal appraisal 2021 yang disebut dikerjakan KJJP Sucofindo itu menjadi dasar terbitnya Perbup 5/2022. Sampai hari ini, dokumen appraisal tidak pernah terkuak.
Alhasil, tunjangan perumahan sebesar Rp 29.200.000 per bulan untuk ketua, Rp 21.800.000 per bulan untuk wakil ketua, serta Rp 18.800.000 per bulan untuk anggota itu, entah darimana datangnya.
Tudingan miring bahwa angka tunjangan perumahan DPRD Jombang sebagaimana Perbup 5/2022 cukup kental aroma politis, tidak pernah ditanggapi pihak terkait.
Juga, tudingan bahwa angka-angka tersebut terbilang tidak wajar, tidak patut, tidak rasional, tidak sesuai harga setempat, serta tidak sesuai harga sewa rumah negara sebagaimana semangat PP 18/2017 dan PP perubahan 1/2023, juga tidak berujung penjelasan terukur.
Termasuk, pada 2022 itu, angka tunjangan perumahan DPRD Jombang tercatat menjadi yang tertinggi se Jawa Timur melampaui Kabupaten Gresik dan Sidoarjo, juga tidak ada pihak yang merasionalisasi itu sehingga situasinya mengarah kepada ‘Indonesia gelap’.
Sikap berbelit dan cenderung menghindar, nampaknya masih menjadi pilihan paling masuk akal bagi para pihak yang terlibat dalam mendulang lahirnya Perbup 5/2022.
Dokumen appraisal tahun 2021 yang sejatinya adalah dokumen publik itu tiba-tiba menjelma seperti jarum dalam tumpukan jerami. Para pengampu seperti lupa dimana berkas disimpan.
Padahal sebagaimana pengakuan tertulis yang sudah dilempar, pada dokumen appraisal tahun 2021 itu, ada uang negara sebesar Rp 100 juta yang menguap. Lantas bagaimana dengan pertanggungjawaban publik?
Ditengah situasi yang demikian itu, tiba-tiba pada 2024 lalu, 2 paket appraisal dilangsungkan sekaligus. Sebagaimana lazimnya appraisal, angka tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi pada appraisal 2024 diyakini tidak akan lebih rendah dari angka Perbup 5/2022.
Jika benar itu yang terjadi, maka appraisal 2024 disinyalir semakin jauh dari semangat PP 18/2017 dan PP perubahan 1/2023. Pertanyaannya, apakah Bupati Warsubi cukup berani mengakomodir hasil appraisal 2024 untuk kemudian diterbitkan Perbup baru?
Jika pada akhirnya hasil appraisal 2024 berujung tidak terpakai, maka dugaan kecerobohan ini layak diganjar setimpal. Sebab, penggunaan uang negara tanpa output terukur adalah sebentuk pidana. (*)