Oleh: Zulkifli S Ekomei*
Sebutan generasi penerus adalah bagi generasi yang diharapkan bisa meneruskan cita-cita para pendahulunya, yaitu cita-cita yang tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 yang kemudian dijabarkan pada pasal-pasalnya yang terdiri dari 16 Bab dan 37 Pasal.
Ternyata dalam sejarah perjalanan bangsa ini, ada sebagian anak bangsa khususnya yang duduk dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004 bukan saja tidak meneruskan cita-cita pendahulunya tapi justru mengobrak-abrik format maupun isi UUD’45, dengan istilah yang mereka pakai “merubah” padahal sejatinya adalah mengganti baik format maupun isinya bahkan namanyapun dibuat mirip yaitu UUD NRI 1945, akibatnya berubahlah posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Salah satu tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi menurut UUD’45 sebelum mengalami kudeta konstitusi yang dilakukan oleh National Democratic Institute pimpinan Madellein Albright mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat bersama antek-anteknya, gerombolan yang duduk di MPR periode 1999-2014 adalah menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Setelah kudeta konstitusi itu posisi MPR diturunkan dari posisi lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara dan tidak lagi menetapkan GBHN yang harus dijalankan oleh Presiden selaku Mandataris MPR, sehingga apabila ada Presiden yang tidak bisa menjalankan GBHN, bisa diturunkan oleh MPR.
Keterlibatan para anggota MPR yang terlibat dalam proses pergantian UUD’45 dengan membantu agenda asing ini tentu saja tidak ada kata lain yang tepat selain kata penghianat, sementara bagi beberapa anggota MPR yang tidak menyadarinya bahkan sudah meminta maaf kepada rakyat yang diwakilinya secara terbuka tentu saja sebutan itu bisa dipertimbangkan untuk dicabut.
Ternyata penghianatan ini dilanjutkan oleh mereka yang duduk di DPR periode 2019 – 2024 dalam memberikan landasan bagi penetapan Panitia Khusus RUU Ibukota Negara dengan mengubah Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR. Jumlah anggota dan pimpinan Pansus RUU IKN ini menerabas ketentuan yang diatur dalam Tata Tertib DPR sebelumnya, tindakan ini dinilai menunjukkan DPR tidak mengikuti asa bernegara yang baik.
Sebelumnya, dalam rapat Paripurna DPR tanggal 7 Desember 2021, DPR menetapkan Pansus RUU IKN yang beranggotakan 56 orang dan 6 pimpinan. Penetapan ini melanggar ketentuan di tatib DPR dalam Pasal 104 Ayat 2 juncto Pasal 105 Ayat 5, kedua pasal itu mengatur Anggota Pansus maksimal 30 orang dan Pimpinan 4 orang yang terdiri atas 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua.
Keputusan DPR ini sampai membuat Prof. Emil Salim tak habis pikir.
“Ada apa dgn proses pembentukan Hukum di DPR ketika menetapkan Panitia Khusus RUU Ibu Kota Negara melanggar Tata-Tertib DPR dan pemecahannya : “Mengubah tata-tertib agar sesuai dengan keputusan yang diambil.
“Mengapa Tata-tertib DPR diubah dan bukan substansi keputusannya …?” kata mantan Menteri Lingkungan Hidup itu di akun twitter Pribadinya @emilsalim2010, Jumat (10/12/2021).
Seperti diketahui, Prof. Emil Salim salah satu tokoh yang getol menolak pemindahan Ibu Kota Negara.
Ditilik dari berbagai aspek, dari sejarah hingga aspek lingkungan hidup, sangat tidak layak Ibu Kota Negara dipindah.
Proyek pemindahan Ibu Kota baru ini seperti Proyek pembuatan UU Omnibus Law, yang pembuatannya penuh pelanggaran tapi dipaksakan, namun akhirnya dinilai tidak konstitusional oleh MK.
Ada apa dgn proses pembentukan Hukum di DPR ketika menetapkan Panitia Khusus RUU Ibu Kota Negara, sehingga harus melanggar Tata-tertib DPR dan justru pemecahannya :
“Mengubah tata-tertib agar sesuai dengan keputusan yang diambil.
”Mengapa Tata-tertib DPR yang diubah dan bukan substansi keputusannya ?
Penghianatan demi penghianatan dilakukan oleh sebagian wakil rakyat yang duduk di Senayan terhadap rakyat yang diwakilinya, mereka lebih mewakili kepentingan oligarki sehingga saatnya rakyat mencabut mandat mereka, kalau melalui pemilu tentu merupakan pekerjaan yang sia-sia karena rakyat cuma dijadikan obyek legitimasi mereka melalui sistem.yang sudah mereka kuasai.
Kalau ada pemikiran mencabut mandat mereka dengan cara menduduki rumah rakyat di Senayan kemudian mengusir mereka, apakah bisa disalahkan?
*Zulkifli S Ekomei adalah aktivis demokrasi. Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.