Penulis: Yusran Hakim | Editor: Priyo Suwarno
JAKARTA, SWARAJOMBANG.COM- Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru-baru ini mengingatkan agar Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak mengulangi kesalahan sejarah yang telah dikoreksi, terutama terkait dengan keterlibatan TNI aktif dalam politik praktis.
Dalam sebuah acara di Cikeas, Senin 17 Maret 20225, SBY menekankan pentingnya pemisahan antara militer dan politik, sesuai dengan doktrin reformasi yang diusung sejak 1998.
Ia menegaskan bahwa prajurit TNI aktif seharusnya mundur jika ingin terlibat dalam pemerintahan atau politik, mengingat hal tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, seperti dituangkan dalam liputan 6
SBY mengungkapkan bahwa kebijakan ini juga diikuti oleh putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang memilih untuk pensiun dari TNI sebelum terjun ke dunia politik.
Ia menjelaskan bahwa keputusan tersebut merupakan bagian dari komitmen untuk menjaga integritas dan netralitas TNI.
Pernyataan SBY muncul di tengah protes masyarakat mengenai banyaknya prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil. Ia mengingatkan bahwa sejak reformasi, ada kesepakatan untuk mengembalikan fungsi TNI sesuai konstitusi, yang menekankan bahwa tentara harus fokus pada pertahanan negara dan tidak terlibat dalam politik praktis.
Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Lodewijk F Paulus, juga menanggapi kritik SBY dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengevaluasi aturan terkait penempatan TNI aktif dalam jabatan publik sipi.
Kritik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap penempatan TNI aktif di jabatan sipil memiliki beberapa dampak signifikan, baik dalam konteks politik maupun reformasi militer di Indonesia.
SBY menekankan bahwa prajurit TNI aktif seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis, sesuai dengan prinsip reformasi yang mengharuskan pemisahan antara militer dan politik. Ini berpotensi memperkuat kembali komitmen untuk menjaga netralitas TNI dan mencegah terulangnya dominasi militer dalam pemerintahan, yang pernah terjadi pada era Orde Baru.
Kritik ini juga mendorong pemerintah untuk mengevaluasi regulasi terkait penempatan TNI aktif di jabatan sipil. Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Lodewijk F Paulus, menyatakan bahwa pemerintah sedang membahas aturan ini, menunjukkan adanya respons terhadap kekhawatiran yang diungkapkan SBY.
Penempatan prajurit TNI aktif dalam posisi sipil dapat mengurangi profesionalisme dalam birokrasi negara. Hal ini berpotensi menciptakan ketergantungan pemerintah pada militer dan melemahkan supremasi sipil, yang merupakan prinsip utama dalam demokrasi. Kritikus juga khawatir bahwa langkah ini dapat mengubah loyalitas TNI dari negara menjadi individu atau kelompok tertentu.
Secara keseluruhan, kritik SBY berfungsi sebagai pengingat bagi pemimpin saat ini untuk tidak mengabaikan pentingnya pemisahan antara militer dan politik demi menjaga integritas dan stabilitas demokrasi di Indonesia. **