Penulis: Yusran Hakim | Editor: Priyo Suwarno
JAKARTA, SWARAJOMBANG.COM- Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat, Ahmad Khozinudin mengkritik aparat penegak hukum, khususnya Bareskrim Polri dalam penangan hukum pagar laut 30,16 km di tangerang. Ia mempertanyakan apakah polisi benar-benar menjalankan tugas sebagai penegak hukum atau justru menjadi “pengacara” bagi pihak tertentu, yaitu Aguan.
Khozinudin sendiri adalah pengacara, bukan polisi atau penegak hukum, dan dalam kasus ini ia berperan sebagai pihak yang menggugat atau mengadvokasi seluruh aparat dan masyarakat yang terkait dengan proyek pagar laut di wilayah Tangerang.
Pengacara yang juga dikenal sebagai aktivis dan pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Kajian dan Bantuan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta Ketua LBH Pelita Umat. Dalam konteks kasus Pagar Laut PIK-2, wilayah Tangerang, Banten.
Pernyataan Ahmad Khozinudin yang menyatakan “Ini Bareskrim penegak hukum atau pengacara Aguan?” dimuat pada Selasa, 15 April 2025, seperti diwartakan JakartaSatu.com.
Dalam konteks pernyataan Ahmad Khozinudin, “pengacara Aguan” merujuk pada kritik terhadap Bareskrim Polri yang dianggap lebih berpihak atau melindungi Aguan, yang diduga terlibat dalam kasus kejahatan sertifikat laut, daripada menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum secara objektif.
Istilah ini digunakan untuk menyoroti dugaan bahwa aparat penegak hukum tidak netral dan seolah-olah menjadi pembela atau “pengacara” bagi Aguan, bukan sebagai penegak hukum yang menegakkan keadilan berdasarkan fakta dan hukum.
Kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, muncul sebagai pagar bambu yang membentang dari Kecamatan Teluknaga hingga Kronjo, melintasi 16 desa di enam kecamatan. Pagar ini dipasang sekitar 500 meter dari bibir pantai dan menimbulkan polemik karena tidak memiliki izin resmi serta belum diketahui siapa pelaku pembangunannya.
Pagar laut ini pertama kali diketahui oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten pada Agustus 2024, dan setelah itu dilakukan investigasi yang mengungkap panjang pagar sudah mencapai 30,16 km. Struktur pagar terbuat dari bambu dengan ketinggian sekitar 6 meter, dilengkapi anyaman bambu dan pemberat karung pasir.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa pemagaran laut tanpa izin merupakan pelanggaran hukum dan dapat merugikan nelayan serta merusak ekosistem laut. KKP juga memasang spanduk penghentian aktivitas pemagaran di lokasi pagar tersebut.
Kelompok masyarakat bernama Jaringan Rakyat Pantura (JRP) mengaku sebagai pembangun pagar secara swadaya dengan tujuan mencegah abrasi, namun klaim ini diragukan karena biaya pembangunan diperkirakan mencapai belasan miliar rupiah.
Kasus ini mendapat perhatian publik dan pemerintah karena menyangkut isu penguasaan ruang laut yang seharusnya menjadi milik bersama dan tidak boleh diprivatisasi tanpa izin resmi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan konvensi internasional seperti UNCLOS 1982.
Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono membantah adanya keterlibatan KKP dalam pemasangan pagar dan menegaskan pagar tersebut bukan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). **