Penulis: Yusran Hakim | Editor: Priyo Suwarno
PONTIANAK, SWARAJOMBANG.COM- Pada hari Kamis, 24 Maret 2025, Mabes Polri melakukan klarifikasi terhadap beredarnya video tumpukan uang Rp 1,2 triliun adalah hoaks dan berasal dari kasus lama. Klarifikasi resmi tentang misinformasi ini yang telah dirilis pada pertengahan April 2025.
Wakil Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri, Brigadir Jenderal Arief Adiharsa, yang menyatakan kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan.
Wakil Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri, Brigadir Jenderal Arief Adiharsa, menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi di PT PLN (Persero) yang terkait proyek PLTU di Kalimantan Barat masih dalam tahap awal penyelidikan.
Ia mengonfirmasi, “Masih tahap penyelidikan ya,” saat dimintai keterangan pada awal Maret 2025. Arief juga menyebutkan bahwa selain kasus PLTU Kalbar, pihaknya tengah menelusuri dua kasus dugaan korupsi lain yang melibatkan PLN, namun ia belum bersedia mengungkapkan detail konstruksi kasus maupun pihak-pihak yang telah diperiksa.
“Belum bisa saya konfirmasikan sekarang,” ujarnya. Hingga saat itu, pihak PLN belum memberikan tanggapan resmi terkait penyelidikan ini
Kasus dugaan korupsi PLN senilai Rp 1,2 triliun tengah diselidiki oleh Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri.
Kasus ini terkait dengan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Kalimantan Barat yang mangkrak sejak 2016 dan diduga merugikan negara hingga Rp 1,2 triliun.
KSO BRN adalah konsorsium Kerja Sama Operasi yang terdiri dari PT Bumi Rama Nusantara (PT BRN) sebagai entitas utama yang memenangkan lelang proyek pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat pada tahun 2008.
PT BRN di bawah kepemimpinan Direktur Utama RR mewakili konsorsium ini dalam penandatanganan kontrak proyek senilai sekitar USD 80 juta dan Rp 507 miliar pada 11 Juni 2009 dengan PT PLN (Persero).
Namun, KSO BRN diketahui tidak memenuhi persyaratan prakualifikasi serta evaluasi administratif dan teknis yang diwajibkan dalam proses lelang. Setelah memenangkan lelang, PT BRN mengalihkan seluruh pekerjaan proyek kepada dua perusahaan energi asal Tiongkok, yaitu PT PI dan QJPSE, yang kemudian menyebabkan proyek mangkrak dan tidak dapat dimanfaatkan sejak 2016, sehingga menimbulkan kerugian negara hingga Rp 1,2 triliun.
Singkatnya, KSO BRN adalah konsorsium yang diketuai oleh PT Bumi Rama Nusantara, sebuah perusahaan yang berperan sebagai pemenang lelang proyek PLTU 1 Kalbar, tetapi bermasalah dalam hal kelayakan administratif dan teknis serta pelaksanaan proyek.
Mangkrak
Proyek PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2×50 MW, mulai dilelang pada 2008 dan dimenangkan oleh KSO BRN yang diduga tidak memenuhi persyaratan administrasi dan teknis.
Kontrak pembangunan senilai sekitar USD 80 juta dan Rp 507 miliar (total sekitar Rp 1,2 triliun) ditandatangani pada 2009 oleh Direktur Utama PT BRN dan Direktur Utama PLN saat itu.
PT BRN mengalihkan pengerjaan proyek ke perusahaan asal Tiongkok, sehingga proyek tidak berjalan dan akhirnya mangkrak.
Penyidikan masih dalam tahap awal, dengan pemeriksaan sejumlah pejabat PLN dan mantan direksi sejak periode 2008.
Video viral yang mengklaim menunjukkan tumpukan uang hasil korupsi Rp 1,2 triliun PLN adalah hoaks dan berasal dari kasus lama dengan nilai berbeda.
Kasus ini menjadi sorotan karena kerugian negara yang sangat besar dan menambah daftar panjang kasus korupsi di sektor energi. Aparat penegak hukum terus melakukan penyelidikan untuk mengungkap aktor utama dan memastikan keadilan ditegakkan.
Pada proses lelang proyek PLTU 1 Kalimantan Barat tahun 2008, kerugian negara belum langsung muncul, namun sudah terdapat indikasi pelanggaran dan potensi kerugian. Hal ini karena pemenang lelang, KSO BRN, ternyata tidak memenuhi persyaratan prakualifikasi serta evaluasi administrasi dan teknis yang diwajibkan dalam proses lelang.
Kontrak proyek senilai sekitar Rp 1,2 triliun baru ditandatangani pada 11 Juni 2009 setelah proses lelang selesai. Kerugian negara yang besar terjadi akibat penyalahgunaan wewenang dan pengalihan pekerjaan proyek kepada pihak ketiga yang menyebabkan proyek mangkrak sejak 2016 dan tidak dapat dimanfaatkan, sehingga negara dirugikan hingga Rp 1,2 triliun.
Jadi, kerugian negara baru muncul setelah proses lelang dan kontrak, ketika pelaksanaan proyek mengalami kegagalan dan mangkrak, bukan saat proses lelang berlangsung14
Berikut kronologi kasus dugaan korupsi PLN senilai Rp 1,2 triliun terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat:
Tahun 2008, PT PLN (Persero) mengadakan lelang pembangunan PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2×50 MW dengan sumber dana dari PLN.
Lelang dimenangkan oleh KSO BRN meskipun diduga tidak memenuhi persyaratan prakualifikasi serta evaluasi administrasi dan teknis.
Pada 11 Juni 2009, kontrak proyek senilai USD 80 juta dan Rp 507 miliar (sekitar Rp 1,2 triliun) ditandatangani antara RR selaku Dirut PT BRN dan FM selaku Dirut PT PLN. PT BRN kemudian mengalihkan seluruh pekerjaan proyek kepada PT PI dan QJPSE, perusahaan energi asal Tiongkok.
Proyek ini mengalami berbagai kendala dan akhirnya mangkrak sejak tahun 2016, tidak dapat dimanfaatkan dan menyebabkan kerugian negara hingga Rp 1,2 triliun.
Sejak awal Februari 2025, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri memanggil sejumlah pejabat PLN Pusat untuk dimintai keterangan terkait tiga kasus dugaan korupsi, termasuk proyek PLTU Kalbar.
Penyelidikan masih dalam tahap awal dan terus berlanjut dengan fokus pada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang dan pengerjaan proyek. **