Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
SURABAYA, SWARAJOMBANG.COM– Dono seorang pria sukses berdiri di depan rumah itu, menyunggingkan senyum yang lama tertahan oleh jarak dan waktu. Dengan suara yang bergetar menahan rindu, ia memanggil wanita yang selama ini selalu ada dalam mimpinya.
Dini seorang wanita desa sederhana itu membuka pintu. Tubuhnya menegang. Matanya membelalak, menatap pria yang dulu ia cintai sepenuh jiwa dan kini berdiri di hadapannya.
“Aku telah kembali…” ucap Dono lirih, seolah waktu mundur lima tahun ke belakang.
Air mata Dini mulai menggenang di pelupuk mata sang wanita. “Ternyata kamu kembali juga… setelah sekian lama,” suaranya nyaris patah.
“Iya, aku kembali untuk menepati janjiku… menikahimu,” ujar Dono penuh harap, matanya menatap dalam, seakan ingin menggenggam hati yang sempat ia tinggalkan.
Namun, wajah sang Dini berubah. Senyumnya surut, digantikan oleh keraguan dan rasa tidak pantas.
“Kamu sudah sukses… sementara aku masih begini-begini saja,” ujar Dini menunduk, seolah malu pada dirinya sendiri.
Pria itu menggenggam tangannya, lembut namun penuh keteguhan. “Aku mencintaimu bukan karena siapa kamu di luar… tapi karena siapa kamu di dalam. Kamu tetap wanita yang aku cintai.” tegas Dono
Harapan itu sempat membuncah… hingga suara seorang pria lain dari dalam rumah memecah keheningan.
“Di mana susu anak ini?”
“Susunya di atas meja. Ambil saja, aku nyusul,” jawab sang wanita tergesa, panik. Pria itu masuk, meninggalkan keduanya dalam diam yang penuh tanya.
Tubuh pria itu menegang. Bayi?
“Itu… anakmu?” tanya sang Dono perlahan, hati terguncang
Wanita itu menatapnya dengan mata yang jujur. “Benar. Dia anakku.”
“Kamu… kamu janji akan menungguku… kita akan hidup bersama…” kata Dono terbata
“Lima tahun aku menunggu. Lima tahun tanpa kabar. Sementara aku… sudah 29 tahun. Sampai kapan aku harus menunggu?” Dini berusaha mengelak.
Hati sang Dono remuk. “Maafkan aku… aku salah. Aku bodoh karena pergi tanpa jejak.” Ia mengeluarkan kartu ATM dari saku jaketnya, menaruhnya di tangan wanita itu. “Ini… untukmu. Hadiah pernikahan. Aku… hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku.”
Matanya basah. Ia pun berbalik dan pergi, meninggalkan cinta yang belum sempat tumbuh kembali.
Dari dalam rumah, pria yang tadi keluar dengan bayi menatap sang wanita. “Sepupuku… kenapa kamu berbohong?”
“Aku tak pantas untuknya. Aku cuma orang biasa, tidak sehebat dia. Biarlah… dia dapatkan yang lebih baik,” ucap sang Dini dengan suara gemetar.
“Kamu bodoh! Jika dia tidak cinta, dia tak akan datang. Tak akan memberi apa pun. Kau tak lihat air matanya? Cintanya tulus. Kejarlah sebelum terlambat!”
Bagai tersengat, wanita itu berlari. Ia melihat mobil hitam melaju kencang. Tanpa pikir panjang, ia mengejar melewati jalanan berdebu, menerobos harap dan sesal.
Namun mobil itu terus melaju, menghilang ditelan tikungan. Nafasnya tersengal, matanya berlinang. “Selesai sudah… harapanku.”
Namun mobil itu bukan mobil Dono, itu mobil online, tiba-tiba… suara yang sangat ia kenal meneriakinya dari belakang.
“Hei! Kenapa kamu tinggalkan aku?!”
Ia menoleh. Ternyata Dono itu belum pergi. Ia berdiri beberapa meter di belakang, tertawa kecil sambil terengah, memanggil nama yang telah ia simpan di dadanya selama lima tahun.
Wanita itu menangis, tapi kali ini bukan karena kehilangan melainkan karena kelegaan. Ia berlari dan memeluknya, seolah tak akan melepaskannya lagi.
Di tengah jalan berdebu, di antara luka dan kerinduan, cinta sejati akhirnya menyatukan mereka kembali, dan di sanalah, dua hati yang pernah patah, akhirnya menemukan rumahnya.***