Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
BEIJING.SWARAJOMBANG– Di sudut kota kecil Tiongkok, di mana waktu seperti berlari ditingkah deru mesin dan kesibukan yang tak berbelas kasih, seorang nenek renta berdiri bagai akar tua yang tak tergoyahkan. Tubuhnya membungkuk, tapi tangannya tak pernah berhenti mengukir harapan.
Ini adalah kisah nyata, dialah Mao Shihua. Setiap subuh, ia membakar dandang, mengukus bakpao dengan tangan bergetar, lalu menjajakannya harga 50 sen. Bukan untuk mengisi kantongnya yang lapuk, melainkan memastikan kantong seragam sekolah di sekitar sana tak kosong oleh rintihan perut. “Kalau tak punya uang, jangan malu. Datang saja kemari. Yang penting kamu belajar sungguh-sungguh,” bisiknya pada setiap anak yang ragu.
Suatu pagi, seorang wanita setengah baya menarik tangan anaknya, mendesak untuk dibawa ke gerobak bakpao legendaris itu. “Tak mungkin masih ada yang jual 50 sen!” gumamnya skeptis.
Namun saat tiba, napasnya tersekat. Di balik kepulan asap kukusan, ia melihat wajah yang sama: keriput dalam, senyum yang merangkul, mata yang memancar seperti matahari pagi.
20 tahun lalu, gadis kecil bernama Syaoli itu kerap berdiri di ujung jalan, menatap gerobak nenek Mao dengan perut keroncongan. Ayahnya terbaring lumpuh, ibunya hilir-mudik mengais receh. Harga seporsi bakpao adalah mimpi.
Hingga suatu hari, nenek itu menyapanya. “Ambil, Nak,” ujarnya, menyodorkan bakpao hangat tanpa menuntut bayaran. Sejak itu, Syaoli menjadi penunggu setia gerobak itu. Kadang, ia belajar di sana, ditemani desisan dandang dan cerita-cerita nenek Mao tentang “orang baik takkan pernah mati kelaparan”.
Hingga suatu hari, sang nenek memberinya tas sekolah baru pengganti keranjang anyaman usang yang selalu ia malu-malu sembunyikan. “Agar kau tak kehilangan semangat,” katanya, merapikan tali tas itu di pundak Syaoli.
Kini, Syaoli dewasa berdiri di depan nenek Mao, air matanya menitik saat mengulurkan foto tas pemberian itu. Sang nenek mengernyit, lalu terdiam. Jari-jarinya yang keriput mengusap foto itu pelan.
Tiba-tiba, ingatannya melesat ke masa lalu: gadis kecil bermata redup, yang kini telah menjadi ibu dengan pakaian rapi, membawa anak yang ternyata juga pelanggan setianya. “Kamu… Syaoli?” gumamnya serak. Tanpa kata, mereka berpelukan. Wangi kukusan bakpao dan isak yang tertahan menyatu dalam keheningan.
Ketika Syaoli bertanya mengapa harga bakpao tak pernah naik, nenek Mao hanya mengangkat tangan, menyeka embun di matanya. “Tak semua anak bisa jajan, sama sepertimu dulu. Aku hanya ingin menghabiskan sisa umurku membantu mereka. Meskipun cuma sepotong bakpao.”
Di bakul usangnya tak ada pahlawan bersorak atau kisah termasyhur. Hanya seorang nenek yang percaya: setiap gigitan bakpao bisa menjadi doa, setiap senyum anak kenyang adalah harta. Nenek Mao bukan penjual biasa. Ia adalah ibu bagi yang terlupakan, penjaga mimpi-mimpi kecil yang hampir patah, dan bukti bahwa di tengah dunia yang sibuk mengukur segalanya dengan uang, masih ada hati yang berdetak untuk memberi, tanpa syarat, tanpa akhir.***