Oleh: Wibisono*
EUFORIA Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 masih terasa detaknya ditengah masyarakat yang menunggu janji-janji kampanye calon Kepala Daerah yang sudah meraup perolehan suara tertinggi dalam hitungan KPU.
Janji, dalam identifikasi pilkada adalah gagasan, konsepsi, metode yang secara indah disampaikan oleh calon Kepala Daerah dalam kampanyenya untuk menjawab keinginan dan harapan masyarakat.
Janji politik sebenarnya bisa diidentifikasi apakah logis sesuai dengan ekspektasi masyarakat atau hanya sekedar ujaran atau wacana di ruang hampa. Janji politik perlu dirumuskan dengan baik sebagai branding calon Kepala Daerah dalam bertanding.
Merangkai janji agar menarik tapi tetap realistis bukanlah hal yang mudah. Menyusun janji politik melalui program haruslah realistis, tidak cukup dengan membaca secara global postur APBD.
Membaca secara rinci APBD adalah sebuah keharusan, termasuk melihat data historis menjadi hal yang esensial untuk dilakukan Calon Kepala Daerah (Cakada). Janji politik yang digaungkan haruslah berbasis anggaran publik yang tersedia.
Yang menjadi persoalan, APBD bukanlah sebuah ruang yang bisa diisi secara maksimal untuk membiayai program-program Cakada yang terkemas dalam janji politik pada masa kampanye sebelumnya.
Dalam postur APBD sudah teralokasi belanja yang menjadi beban tetap dan alokasi belanja wajib yang sudah tidak mungkin bisa ‘direkayasa’ lagi untuk dibelanjakan pada kegiatan lain. Bila melihat kebutuhan seperti itu, nyaris ruang fiskal yang tersedia berporsi minimal bila dibandingkan dengan alokasi kebutuhan belanja yang bersifat tetap dan wajib.
Dalam APBD, istilah belanja tetap (baseline) adalah belanja untuk menggaji pegawai. Sedangkan belanja wajib adalah belanja barang dan jasa yang alokasi anggarannya maksimal berkisar 32%.
Belanja pegawai, Pemerintah Daerah (Kabupaten/ Kota) harus mengalokasikan anggaran yang rata-rata sebesar 33% dari APBD untuk menggaji pegawainya. Apabila belanja pegawai ditambahkan belanja barang dan jasa, maka porsi belanja tetap akan mencapai angka kurang lebih 65%.
Praktis besaran sisa anggaran tinggal 35% yang bisa dialokasikan untuk mengakomodasi program program kerja Cakada.
Dalam hal lain, bila masih ada tambahan belanja yang bersifat insidental dan harus dilaksanakan oleh Pemda (Kabupaten/ Kota) dan memakan porsi yang ekstrim, maka besaran ruang fiskal yang tersisa akan semakin mengecil.
Lalu bagaimana bila program Cakada yang tertuang dalam janji politik hanya didukung oleh anggaran yang sifatnya minimalis?
Penulis hanya berkeinginan untuk mengedukasi masyarakat awam sekaligus mengingatkan para politisi terkait dengan anggaran sektor publik yang menjadi andalan dalam setiap janji kampanye, agar menjadi topik penting sebuah pembelajaran dan evaluasi.
Dirasakan tunai atau tidaknya janji politik Kepala Daerah terpilih tergantung kemampuan masyarakat menganalisis konsistensi antara janji dan ketersediaan anggaran daerah.***
Wibisono, Redaktur SWARAJOMBANG.COM