Penulis: Gandhi Wasono M | Editor: Priyo Suwarno
GRESIK, SWARAJOMBANG.COM- Memperingati Dies Natalis XII Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI) Gresik menyelenggarakan berbagai kegiatan, mulai kegiatan akdemik hingga peresmian masjid Silo Al Ilmi serta perpustakaan.
Usai menandatangani prasasti, Prof (HC) Dr. Ir, Dwi Soetjipto, MM pendiri UISI dan Rektor Prof. Dr. Ing. Herman Sasongko masuk halaman dalam masjid sebelum sholat Jumat perdana dilaksanakan. “Silo artinya wadah, Ilmi adalah Ilmu. Jadi, Masjid Silo Al Ilmi, kira-kira artinya adalah wadah ilmu,” kata Herman Sasongko saat juma pers di depan awak media, Jumat (17/5).
Memasuki masjid Silo Al Ilmi tidak seperti bentuk bangunan masjid pada umumnya yang rata-rata bentuknya square dengan kubah di atasnya. Sedang masjid di dalam kawasan bekas pabrik Semen Gresik (SG) ini bentang latarnya melebar sekitar 30-an meter dengan panjang dari mimbar imam ke belakang sekitar 15 meteran dengan dindingnya bagian belakang makmum melengkung setengah lingkaran sama dengan dinding tempat imam.
Ditambah di tengah berdiri pilar ukuran besar memberi kesan kokoh. Sedang lantai dua masjid dalam proses pembangunan untuk ruang kelas mahasiswa baru yang saat ini jumlahnya makin meningkat.
“Karena dianggap satu-satunya kampus yang memanfaaatkan bekas bangunan pabrik sebagai gedung, setelah dua tahun berdiri kementerian pendidikan memberi predikat UISI sebagai kampus heritage pertama di Indonesia,” kata rektor Herman Sasongko.

Sebagian besar bentuk bangunan kampus UISI memang tidak seperti bentuk bangunan perguruan tinggi pada umumnya yang menjulang dikelilingi jendela dan kaca tembus pandang. Kampus UISI termasuk masjid bukanlah bangunan baru tetapi memanfaatkan bangunan bekas pabrik SG yang sudah tutup sejak puluhan tahun silam.
Termasuk silo wadah berbentuk lingkaran berdiameter 13 meter dengan tinggi 35 meter dengan tembok cor ketebalan sekitar 40 cm. Silo ini ketika pabrik SG beroperasi berfungsi sebagai penampung semen yang keluar dari proses produksi.
Di bagian bawahnya ada semacam katup untuk mengucurkan serbuk semen akan dimasukkan dalam wadah kertas sak sebelum diangkut dipasarkan. Untuk satu silo bisa menampung sekitar 5 ribu meter kubik semen.
Untuk membuat masjid serta ruang kelas ini memanfaatkan enam silo yang berjejer berdampingan kemudian bagian dasar dibobol untuk menghubungkan satu sama lain. Tentu untuk menghancurkan tembok silo bukan pekerjaan mudah.

“Saking kokoh dan kerasnya tembok untuk membobol membutuhkan waktu enam bulan lamanya. Itupun mata bor yang digunakan berbahan diamond karena kalau dari baja biasa tidak mempan,” kata Ir. Hadi Purwanto, PhD, dosen Managemen Rekayasa yang keliling kawasan bekas pabrik. “Kita tidak minta, andai ada gempa berkekuatan 9 skala richter saja bangunan ini tidak akan goyah,” kata Hadi sambil tertawa.
Begitu masuk bangunan pabrik semen disuguhi pemandangan paling ikonik dari pabrik SG yakni cerobong asap dengan cat warna merah putih. Meski sudah puluhan tahun tak terpakai cerobong asap besar itu tetap terlihat kokoh dan gagah menjulang tinggi.
Makin ke dalam kawasan suasananya mirip masuk ke kawasan reaktor nuklir. Dimana silo menjulang tinggi terdapat di beberapa titik dalam satu kawasan yang terlokalisir. Kiri kanan jalan yang sepi ditumbuhi rumput dan pohon-pohon keras.
Dari balik rerumputan menjulang tinggi mesin-mesin raksasa warna cokelat berkarat dimakan usia. Antar satu bagian ke bagian lain dihubungkan jembatan besi kokoh.
“Ini namanya rotary kiln, dulu sewaktu SG masih beroperasi di dalam pipa ini berputar karena terdapat batu kapur dibakar mencapai suhu 1400 derajat celcius untuk menghasilkan serbuk yang disebut clinker. Clinker ini kemudian dicampur dengan bahan lain untuk menjadi portland semen,” papar Hadi yang pendidikan magister dan doktor-nya di bidang metalurgi diperoleh di Jepang.
Pun demikian dengan bangunan yang digunakan untuk ruang kelas, pertpustakaan, audoitorium serta sekretaria dulu adalah tempat penggilangan batu bara, bahan bakar untuk menghidupkan mesin pengolahan semen.
Untuk bagian luar warnannya dan bentuknya dibiarkan asli tetapi ketika berada di dalam gedung yang didirkan tahun 1957 tersebut tidak begitu tampak jika bangunan tersebut adalah bekas pabrik. tembok di cat dengan warna menarik demikian pula untuk lantai menggunakan batu granit mewah sehingga nunsa “sangar” tidak tampak lagi. **