Penulis: Adi Wardhono | Editor: Priyo Suwarno
SEMARANG, SWARAJOMBANG- Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin saat ini menjabat sebagai profesor klinis (Clinical Professor) di Universitas Kagoshima, Jepang, sejak 1 April 2023 hingga 2026. Penunjukan ini tercantum dalam surat resmi dari Fakultas Medis Universitas Kagoshima dan merupakan pengakuan atas prestasi dan keahliannya di bidang bedah saraf, khususnya epilepsi.
Gelar profesor di Universitas Kagoshima, Jepang, pada dasarnya merupakan jabatan akademik tertinggi yang diberikan kepada seorang dosen atau akademisi yang memiliki keahlian dan pencapaian ilmiah luar biasa di bidangnya.
Sebagai profesor klinis (Clinical Professor), orang tersebut berperan sebagai pengajar dan peneliti yang aktif di lingkungan perguruan tinggi, bertanggung jawab dalam mengajar mahasiswa, membimbing penelitian, dan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang spesialisasinya.
Secara umum, gelar profesor bukanlah gelar pendidikan seperti S1, S2, atau S3, melainkan jabatan fungsional yang menunjukkan tingkat senioritas dan keahlian akademik tertinggi di perguruan tinggi.
Profesor biasanya memiliki kualifikasi doktor (S3) dan pengalaman mengajar serta penelitian yang signifikan. Di Jepang, seperti di banyak negara lain, profesor klinis juga dapat terlibat dalam praktik profesional di luar kampus, misalnya dalam bidang kedokteran, sambil mengajar dan melakukan penelitian di universitas.
Singkatnya, gelar profesor di Universitas Kagoshima berarti bahwa seseorang adalah pengajar senior dan peneliti yang diakui secara akademik dan profesional, bukan sekadar gelar kehormatan atau gelar pendidikan biasa.
Meskipun diberhentikan dari RSUP Dr. Kariadi Semarang pada April 2023, Prof. Zainal tetap aktif sebagai guru besar di Universitas Diponegoro dan juga berpraktik di Semarang Medical Center Telogorejo. Pengangkatan sebagai profesor klinis di Jepang menunjukkan pengakuan internasional atas kompetensi dan kontribusinya di bidang medis.
Dokter Zainal Muttaqin diberhentikan dari statusnya sebagai dokter mitra di RS Vertikal Kemenkes, RSUP Dr. Kariadi Semarang, sejak 6 April 2023.
Hal itu terjadi setelah Prof. Dr. Zainal Muttaqin mengkritik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terutama terkait sejumlah kebijakan dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) dan regulasi baru yang dianggapnya merugikan profesi dokter dan pelayanan kesehatan masyarakat. Kritik utamanya meliputi:
Pengambilalihan penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter oleh Kemenkes, yang selama ini dikelola oleh Konsil Kedokteran.
Prof. Zainal menilai pengambilalihan ini akan menyulitkan pengawasan etika dan kompetensi dokter karena STR memuat data kompetensi dan kontrol terhadap lingkup tindakan medis yang boleh dilakukan dokter.
STR tidak bisa berlaku seumur hidup karena kompetensi dokter bisa bertambah atau menurun, sehingga pengelolaan STR harus ketat demi melindungi masyarakat luas.
Hilangnya kewajiban alokasi anggaran kesehatan oleh pemerintah dalam RUU Kesehatan. Kebijakan terkait data genetik dan rencana mendatangkan dokter asing yang menurutnya perlu dikritisi.
Prof. Zainal juga menolak tawaran untuk kembali berpraktik di RSUP Dr. Kariadi dengan syarat tidak mengkritik Kemenkes, karena baginya kritik adalah bagian dari hak konstitusional dan tanggung jawab akademisnya.
Ia menilai upaya membungkam kritik tersebut tidak tepat dan berpotensi merugikan kualitas pelayanan kesehatan serta pendidikan kedokteran di Indonesia.
Pemberhentian Prof. Zainal dari RSUP Dr. Kariadi diduga kuat karena kritik-kritik tersebut, meskipun pemeriksaan etik tidak menemukan pelanggaran dari dirinya. Kritiknya disampaikan melalui media sosial, opini di media massa, dan kanal YouTube, yang memicu kontroversi hingga penghentian tugasnya pada April 2023
Pemberhentian ini diduga kuat terkait dengan kritik yang disampaikan Zainal terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan, khususnya terkait Rancangan Undang-Undang Kesehatan dan sejumlah regulasi baru yang dianggapnya merugikan profesi dokter dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Zainal yang merupakan spesialis bedah saraf konsultan bedah epilepsi dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, telah memberikan pelayanan medis di RS Kariadi selama hampir 30 tahun dan menjadi pionir operasi epilepsi di Indonesia selama 15 tahun. Ia juga aktif sebagai pendidik klinis bagi calon dokter dan spesialis.
Pemberhentian dilakukan oleh Direksi RS Kariadi atas perintah Kementerian Kesehatan, yang dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) karena diduga sebagai upaya membungkam kritik Zainal terhadap Menkes dan kebijakan Kemenkes.
Surat pemberhentian menyatakan masa kontrak Zainal sebagai dokter mitra dihentikan, meskipun kontrak tersebut masih berlaku dan tidak ditemukan pelanggaran etik dalam pemeriksaan komite etik rumah sakit.
Zainal menolak tawaran untuk kembali berpraktik dengan syarat tidak mengkritik Kemenkes, karena baginya kritik adalah bagian dari hak konstitusional dan tanggung jawab akademisnya.
Ia menilai kebijakan Kemenkes yang diusulkannya untuk dikritik, seperti pengambilalihan penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) oleh Kemenkes, berpotensi melemahkan kontrol kompetensi dokter dan merugikan masyarakat luas.
Manajemen RSUP Dr. Kariadi membantah pernah menawarkan kontrak kembali dengan syarat tersebut, namun fakta pemberhentian tetap terjadi.
Singkatnya, dokter Zainal Muttaqin diberhentikan dari RS Vertikal Kemenkes karena dianggap “tidak layak” dalam konteks hubungan kemitraan medis, yang sesungguhnya merupakan konsekuensi dari kritik terbuka yang dilontarkannya terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan, bukan karena pelanggaran profesional atau etik medis. **