Penulis: Priyo Suwarno | Editor: Hadi S. Purwanto
JEMBER, SWARAJOMBANG.COM- Hari ini tanggal 8 Februari 2025 adalah hari peringatan ke 76 tahun Letkol. dr. RM Soebandi gugur dalam penyergapan pasukan Belanda di dusun Plalangan, desa Karang Kedawung, Mumbulsari, Jember, Jawa Timur, tanggal 8 Februari tahun 1949.
Untuk memperingati dan manandai peristiwa sejarah besar di Jember itu, Universitas Dokter Soebandi (UDS) telah melakukan acara ritual tahunan peringatan gugurnya seorang doker muda, berusia 32 tahun, saat menghembukan nafas terakhir akibat rentetan tembakan peluruh di sekujur tubuhnya.
Dokter Soebandi, kala itu menjabat sebagai wakil komandan Brigade III Damarwulan merangkap Residen Militer (setingkat Korem) Jember, gugur bersama komandan Brigade III Damarwulan, Letkol. Moch Sroedji.
Mereka berdua merupakan pejuang yang telah rela mengorbankan jiwa raganya demi mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia, keduanya gugur pada Agresi II, saat Belanda menyergap pasukan Damarwulan 8 Februari 1949.
Acara peringatan itu dilaksanakan di TMP Patrang, diikuti100 mahasiswa dan pelajar SMK UDS, pimpinan RSUD Dokter Soebandi, Jember, dan kepala dinas kesehtan Pemkab Jember, melakukan upacara bendera dan tabur bunga di makam.
Bertindak sebagai inspektur upacara dihadiri pula dua putri mendiang dokter Soebandi, Widyastuti, 78, dan dokter Widoritni, Mars, 76 tahun.

Dokter Widorini memberikan amanah terkait acara tabur bunga untuk ayahndanya, mendiang dokter Soebandi. Dia mengatakan bahwa kedua orang tuanya dr Soebandi dan ibu RR Soekesi, mempunyai tiga putri, “Semuanya perempuan” kata dokter Rini, panggilan akrab Widorini, putri bungsu.
“Ada dua kakak saya, pertama namanya Widyasmani. Kaka saya pertama meninggal dunia tahun 1990, mengalami kecelakaan di Jogjakarta. Kala itu dalam perjalanan dari Jakarta ke Jember, tetapi mengalami kecelakaan di Jogja,” kata dokter Rini.
Sedangkankan kakak kedua, Widyastuti, sekarang berusia 78 tahun hadir bersama dirinya pada acara acara itu. Kakak beradik putri dr Soebandi itu tampil ke depan untuk memberikan sejarah riwayat perjuangan ayahnya.
“Pada saat ayah saya meninggal, saya masih berumur sebelas bulan. Sesungguhnya saya ini tidak pernah mengenal ayah saya. Saya mengenal ayah saya hanya dari cerita ibu Soeksi. Saya sekarang tahu inilah ayah saya!” kata Widorini di depan peserta upacara bendera di TMP Patrang, 5 Februari 2026.
Saat itu ayahnya gugur, kakak sulungnya baru berusia 4 tahun, sedangkan Widyastuti masih berusia sekitar dua tahun, ungkap Widorini. Lebih dari itu, ibundanya saat itu menyandang status janda pada usia 27 tahun, “Dan sampai wafat beliau tidak pernah menikah lagi. Saking cintanya kepada almarhum ayah saya, serta bertekad membesarkan anak-anaknya,” kata Widorini.
Bagaimana susahnya, seorang perempuan muda, yang ditinggal oleh suaminya, harus mengurusi dan membesarkan tiga anak sekaligus tanpa ada penghasilan apapun,kecuali harus bekerja keras, “Hanya berbekal mesin jahit, ibu saya berjuang sendiri menghidupi anaknya,” kata dia. Mesin jahit yang menjadi ‘alat penghidupan’ ibu Soekesi itu sekarang disimpan di museum Dokter Soebandi di kampus UDS.
Dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang ada dari ibunya, Widorini bersyukur dirinya bisa sukses meraih sarjana kedokteran, “Kakak saya kuliah di Jakarta, saya kuliah di Surabaya, dan sekarang menjadi dokter. Bukan tiba-tiba, tetapi dengan segala perjuangan sagat kerja keras dan belajar terus,” kata Widorini memberi semangat kaum pelajar dan mahasiswa.
Widorini berharap generasi muda di Jember bisa meneladani nilai kejuangan ayahnya sebagia bagian pengabdian dan perjuangan untuk terus membangun Indonesia Emas 2025.
Pada saat itu, seluruh peserta meletakkan karangan bunga di tugu pahlawan TMP Patrang, sebagai tanda hormat dan meneladani nilai kejuangan para pahlawan yang gugur membela kemerdekaan dan kejayaan Indonesia. Dilanjutkan, tabur bunga di makam Letkol. dr. RM Soebandi yang berada di posisi nomor dua. Mereka berdoa dan memberi hormat atas jasa-jasanya.

Sesungguhnya, makam nomor satu dan nomor duadi TMP Patrang itu sudah disiapkan untuk makam dwi tunggal Komandan Brigade III Damarwulan Letkol. Moch. Sroedji yang telah mendapat gelar sebagai Mahaputra Indonesia, namun pihak keluarga tetap mempertahankan makam lama keluarga untuk mendiang Letkol. Moch Sroedji di pemakaman umum Kreongan, Jember.
TMP Patrang merupakan ‘tempat peristirahatan’ ketiga untuk bersemayam dokter Soebandi, karena sebelum dimakamkan di TMP Patrang, telah dikebumikan di pemakaman umum Kreongan selanjutnya dapindahkan ke TMP Patrang.
“Kami sekeluarga tetap tunduk dan patuh kepada pemerintah Indonesia, saat negara memerintahkan ayah saya dipindahkan ke TMP Patrang. Kami rela dan bahkan mendukung niat negara untuk memberikan tempat terbaik bagi pejuangnya,” kata doker Rini seperti diungkap dalam buku biografi: Letkol. dr. RM Soebandi: Jejak Kepahlawanan Dokter Pejuang, buah karya jurnalis Gandhi Wasono M, yang diterbitkan oleh keluarga dr Soebandi dan IDI Jember tahun 2018 silam. **