Penulis: Agus Adi Santoso | Editor: Priyo Suwarno
LAMONGAN, SWARAJOMBANG.COM – Desa Ngambeg, Kecamatan Pucuk, Lamongan, Jawa Timur, masih mempertahankan tradisi ganjuran, dari pertengahan abad 17.hingga sejaara, tradisi wanita melamar mempelai pria.
Tradisi ini merupakan warisan dari masa pemerintahan Raden Panji Puspokusumo pada abad ke-17, yang mengedepankan peran perempuan dalam proses lamaran. Masyarakat setempat percaya bahwa Ganjuran mencerminkan identitas dan kearifan lokal mereka, serta berfungsi sebagai alat pendidikan dan pengawasan sosial. Selain itu, tradisi ini juga menjadi sarana untuk memperkuat hubungan antar keluarga dan komunitas.
Tokoh adat yang dapat menjelaskan tradisi Ganjuran di Lamongan adalah Muhammad Navis Abdurrouf, seorang pemerhati sejarah Lamongan. Ia menguraikan asal-usul tradisi ini yang berakar dari kisah Raden Panji Puspokusumo dan putra kembarnya, Panji Laras dan Panji Liris, yang menolak lamaran dari putri kembar Bupati Wirosobo.
Tradisi Ganjuran di Lamongan berasal dari kisah Raden Panji Puspokusumo, Bupati Lamongan III (1640-1665), yang memiliki dua putra kembar, Panji Laras dan Panji Liris. Keduanya terkenal tampan dan menarik perhatian dua putri kembar dari Bupati Wirosobo, Andanwangi dan Andansari.
Ketika lamaran ditolak karena keinginan kedua pangeran untuk tetap melajang, Bupati Lamongan memberikan syarat berat agar para putri membawa gentong sebagai syarat lamaran.
Cerita ini berkisar pada dua pangeran kembar, Panji Laras dan Panji Liris, yang menjadi idola banyak gadis dari berbagai kalangan. Proses lamaran dalam tradisi ini melibatkan keluarga perempuan yang mengunjungi keluarga laki-laki untuk menyatakan niat baik mereka.Njaluk: Keluarga perempuan mendatangi keluarga laki-laki untuk menanyakan niat baik mereka.
Ngganjur: Setelah disetujui, keluarga perempuan kembali untuk meminang secara resmi.
Penutupan: Menentukan hari baik pernikahan dan membagikan jajanan kepada tetangga sebagai tanda bahwa lamaran telah diterima.
Tradisi Ganjuran memiliki makna simbolik yang dalam, termasuk mempererat tali silaturahim antar keluarga dan mengikat hubungan antara dua keluarga. Ini juga mencerminkan kekuasaan perempuan dalam konteks sosial di Lamongan.
Ubarampe atau perlengkapan dalam tradisi Ganjuran mencakup berbagai makanan dan barang simbolis seperti: gula dan kopik, ketan salak, pisan, roti, kalender. Pelestarian tradisi Ganjuran dilakukan melalui pewarisan turun-temurun dan pemanfaatan media sosial untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang tradisi ini kepada generasi muda.
Meskipun saat ini tradisi ini mulai tergerus oleh perkembangan zaman, keunikan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Ganjuran tetap menjadi bagian penting dari budaya masyarakat Lamongan.
Tradisi ini pernah ditulis dalam jurnal Morfologi, Fakultas Sastra dan Seni Universitas Negeri Surabaya, berjudul: Tradisi Ganjuran di Desa Ngambeg Kecamatan Pucuk Kabupaten Lamongan (Teori Folklor) ditulis oleh Vina Tri Agustiningrum dan Sukarman.**