Oleh: Gordon G Chang*
“Kami berbisnis di 100 negara,” kata Jamie Dimon kepada Maria Bartiromo dari Fox News awal Agustus lalu. “Dan kami lakukan, kami lakukan berdasarkan hukum negara-negara itu dan berdasarkan hukum Amerika saat mereka berlaku.”
“Kebijakan luar negeri diatur oleh Pemerintah Amerika, bukan oleh JPMorgan,” kata Dimon, Kepala dan CEO JPMorgan Chase lagi.
Dimon benar. Pemerintah AS tidak melarang bank atau perusahaan lain melakukan bisnis di Cina. Namun berbisnis di Cina berarti memperkuat rezim yang mengerikan. Jadi masalahnya bukan soal legalitas, seperti dikatakan Dimon tetapi tentang moralitas. Kita harus bertanya: Apakah bermoral berbisnis di Cina?
Rezim Cina paling tidak bermoral dalam sejarah. Ia pernah membunuh orang dalam jumlah besar. Kasus Kota Wuhan, misalnya. Ketika dunia tidak tahu bagaimana COVID-19 dimulai, Beijing sengaja menyebarkan penyakit itu ke luar negerinya. Beijing berbohong tentang penularan Covid-19 sambil mengunci kota-kotanya dan menekan negara lain untuk tidak membatasi perjalanan dan karantina orang dan barang dari Cina. Belakangan, setelah mengakuinya, Cina mengatakan penyakit itu menginfeksi lebih sedikit daripada SARS.
Penyakit yang melanda dunia pada pergantian abad itu membuat 8.400 orang sakit dan menewaskan 810 orang di seluruh dunia.
Oleh karena itu, 5,1 juta kematian akibat COVID-19 di luar Cina harus dianggap pembunuhan. Penyebaran penyakit yang disengaja, sejauh ini, merupakan kejahatan abad ini.
Yang juga dibunuh adalah puluhan ribu orang Amerika yang overdosis menggunakan senyawa Fentanil yang setiap tahun yang dibuat Cina. Geng fentanil Cina sangat luas dan berskala internasional. Uang mereka dicuci oleh geng-geng Cina lainnya melalui bank-bank pemerintah Cina. Partai Komunis mengawasi geng-geng itu. Pejabat Cina mendapat untung darinya.. Ini juga pembunuhan. Dalam satu tahun saja, dari Mei 2020 hingga April 2021, fentanil membunuh sekitar 64.000 orang Amerika, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS.
Selain membunuh orang asing, Cina, “menghilangkan” dan membunuh rakyatnya sendiri, dimulai dengan para pengkritik dan pembangkang.
Yang paling menonjol, di Daerah Otonomi Uygur Xinjiang. Di sana ada kamp yang menampung sekitar tiga juta orang Uyghur, Kazakh dan minoritas Turki lainnya. Mereka didera di sana. Kita tahu ini karena Cina membangun krematorium dan kuburan di antara dua kamp interniran mereka, di Kota Aksu.
Beijing melembagakan
perbudakan, menawarkan minoritas itu menjadi tenaga kerja perusahaan domestik dan asing. Cina mempertahankan kebijakan yang mempromosikan pemerkosaan terhadap Uyghur dan wanita Turki lainnya. Pejabat mengambil organ tubuh kaum minoritas dan memenjarakan anak-anak di “panti asuhan” yang menyerupai penjara. Kebijakan Cina atas Tibet tampaknya serupa dalam banyak hal dengan yang dipaksakan pada masyarakat Turki.
Kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang ini merupakan “genosida” seperti didefinisikan dalam Pasal II Konvensi Genosida 1948. Pemerintahan Trump dan Biden telah menyatakan bahwa Cina melakukan kejahatan yang tak terkatakan ini.
Konvensi Genosida, dalam Pasal I, mensyaratkan penandatangan seperti Amerika Serikat, “untuk mencegah dan menghukum” tindakan genosida.
Mencegah dan menghukum tidak termasuk memperkuat kelompok penguasa yang tercela, misalnya dengan membeli produk Cina. “Kita masing-masing bertanggung jawab atas tindakan kita, apakah itu di halaman belakang kita atau di lautan jauh,” urai Jonathan Bass, CEO WhomHome.com yang berbasis di Los Angeles. “Pada 2010, saya menyadari bahwa cara pabrik Cina memperlakukan pekerja tidak sejalan dengan nilai-nilai yang diwakili Amerika. Tenaga kerja budak dalam bentuk apa pun tidak dapat diterima.” Bass kemudian memindahkan pekerjaan bernilai tinggi ke Amerika Utara dan pekerjaan perakitan ke Meksiko.
Apakah ada keharusan moral untuk meninggalkan Cina seperti Bass? Ada keharusan jika rezim Tiongkok tidak dapat dibujuk untuk berhenti melakukan kekejaman.
Xi Jinping, penguasa Tiongkok saat ini berada di balik semua kebijakan itu. Tetapi beberapa kalangan berpendapat bahwa Xi menyimpang dari komunisme Cina, sehingga menyiratkan bahwa kejahatannya adalah perbuatannya. Tidak melekat dalam sistem komunis.
Era Xi, yang ditandai dengan upaya untuk kembali kepada totalitarianism. Mirip dengan cara Mao Zedong, pendiri Republik Rakyat. Mao mengubah rezim yang dijalankan oleh sebuah komite menjadi rezim yang dijalankan oleh satu orang. Kemudian dia hampir menghancurkan negara Cina dengan kampanye yang merusak seperti Revolusi Kebudayaan dan Revolusi Lompatan Jauh ke Depan.
Pengganti Mao, Deng Xiaoping lalu menormalkan politik. Ia melembagakan Partai Komunis dengan menetapkan norma, pedoman, pemahaman dan aturan. Pengamat asing membanjiri munculnya apa yang mereka sebut sistem “meritokratis”.
Seperti Mao, Xi membalikkan prosesnya, mendeinstitusionalisasi partai dengan merebut kekuasaan dari hampir semua orang. Mao juga disebut menyimpang, tapi dia tidak. Cina diperintah oleh orang kuat pada awal periode Komunis dan sekarang. Sistem itu, yang sejak awal Maoisnya mengidealkan perjuangan, menuntut seorang yang kuat. Deng dan dua penerusnyalah yang menyimpang.
Sistem komunis Cina, menuntut keseragaman. Dan untuk mencapai tujuannya semua penentang diberangus. Semua pemimpin komunis Cina, terutama Mao dan Xi dengan demikian berlumuran darah.
Jika kini komunisme Tiongkok tidak bisa diharapkan untuk jinak, kita tidak boleh mentolerir rezim. Itu berarti, kita berkewajiban moral untuk memutuskan hubungan dengannya.
Pemutusan hubungan dengan Cina menyebabkan kekuasaan Partai Komunis, yang selalu bergantung pada pemasukan uang asing, berakhir. Jika pendekatan itu dilakukan, maka sindiran Jamie Dimon bulan ini bahwa banknya akan hidup lebih lama dari Partai Komunis, terlihat seperti seruan kenabian.***
• Gordon G. Chang adalah pengarang buku The Coming Collapse of China. Dia anggota Dewan Penasehat Gatestone Institute. Tulisan ini diterbitkan dalam website Gatestone Institute, 1 Desember 2021. Diterjemahkan oleh Jacobus E. Lato.