Penulis: Gandhi Wasono M | Editor: Priyo Suwarno
SWARAJOMBANG.COM, KATINGAN– Hutan Indonesia harus lestari, untuk menjaga keutuhan itu warga masyarakat di sekitarnya harus sejahtera. Karena pada hakikatnya, hutan juga menjadi sumber penghidupan bagi manusia, sebaliknya hutan harus dijaga demi ekosistem dan kehidupan. Itulah peran hutan pada taman nasional Sebangau, Kalimantan Tengah.
Seperti ditulis sebelumnya, taman nasional Sebangau merupakan salah satu tempat endemik bagi orang utan. Akan tetapi orang utan selain di Kalimantan, yaitu di beberapa kawasan di taman nasional di Sumatera juga ada, meski secara morfologis di kedua tempat tersebut berbeda.
Orang utan Kalimantan warna kulit dan bulunya lebih terang dan bentuk fisiknya lebih langsing hal itu karena orang utan terkadang melakukan gerakan turun ke tanah bahkan kadang ke tepi sungai untuk mencari ikan sebagai tambahan protein.
“Tetapi orang utan di Sumatera lebih gelap bulunya, bentuk tubuhnya lebih gempal karena tidak pernah turun ke tanah untuk menghindari predator yakni harimau Sumatera,” demikian penjelasan Ruswanto, Kepala Balai Taman Nasional Sebangau menjelaskan.
Selain orang utan di Sebangau juga terdapat, bekantan, owa, buaya, ular, kucing-kucingan, macan dahan serta beruang madu. “Sedang untuk burung, mulai burung rangkok badak, liong batu, cucak hijau, kacer, dan lainnya,” tambahnya. Meski jumlahnya terhitung cukup banyak tetapi saat ini agak sulit menemukan orang utan di sekitar sungai karena ada dua hal.
Pertama, jumlah makanan yang ada di pedalaman hutan melimpah, sehingga orang utan tidak perlu lagi keluar. Kedua saat ini air sungai sedang tinggi sehingga orang utan tidak mau mendekat.
Pihak TN. Sebangau, lanjut Ruswanto tidak menerima kiriman atau pelepasan orang utan pemberian dari kawasan taman nasional lain atau dari masyarakat dengan tujuan untuk menjaga galur keturunan orang utan Sebangau tidak tercampur dari daerah lain.
“Sedang ancaman orang utan dan bekantan selain karena kebakaran hutan, perburuan juga karena sakit akibat tertular. Karena orang utan hampir sama dengan manusia bisa tertular sakit jika kondisi fisik kurang bagus,” imbuh Ruswanto yang wilayah TN. Sebangau, meliputi satu kota dan dua kabupaten.
Sedang untuk untuk mandat ke tiga yakni soal pemberdayaan masyarakat juga tak kalah pentingnya.
“Sebagus apapun kondisi hutan dan habitatnya, tetapi jika masyarakat penyangga yang ada di sekitar kawasan secara ekonomi minus maka ada potensi terjadi kerawanan. Jadi, tujuan mandat yang terakhir ini bagaimana masyarakat di sekitar hutan secara ekonomi berdaya sementara hutan juga tetap lestari,” jelas Ruswanto yang sekitar 37 desa yang ada di kawasan taman nasional yang diintervensi dibentuk kelompok sekitar 20 desa.
Karena itu untuk meningkatkan kapasitas masyarakat desa penyangga, pada November lalu pihak TN. Sebangau bekerjasama dengan Borneo Nature Foundation (BNF) mendatangkan Nurdin Razak, seorang ahli ekowisata untuk mengedukasi masyarakat Desa Karuing, yang berdampingan dengan TN. Sebangau.
Nurdin Razak selain ahli ekowisata, akademisi sekaligus juga praktisi pemilik Baloeran Ecolodge diminta untuk menularkan ilmunya kepada masyarakat desa. Dia memberikan pelatihan bagaimana mengelola homestay, mengajari cara melayani wisatawan lokal maupun asing, mengajari menjadi guide bagi turis yang akan masuk ke kawasan hutan.
“Pak Nurdin juga mendatangkan Zakiyah Handayani ahli ecoprint untuk mengajari keterampilan ibu-ibu desa membuat ecoprint,” jelas Ruswanto sebelum di TN. Sebangau sempat bertugas di BKSDA Jatim, TN Baluran, BKSDA Kalimantan Barat, TN Gunung Leuser. **