Oleh: Chris Farrell*
COVID-19 adalah penyakit serius yang bisa berakibat fatal. Kabar baiknya, tingkat pemulihannya mencapai 97% dan 99,75%. Ketika dunia nyaris dua tahun bergulat melawan virus yang terus bermutasi beberapa kebijakan publik dan pertanyaan politik yang serius memerlukan perhatian.
Seperti persoalan, apakah beberapa orang ingin memanfaatkan status vaksinasi untuk menstigmatisasi dan meminggirkan lawan politik? Apakah status vaksin disamakan dengan ideologi atau afiliasi politik? Apakah status vaksin menjadi diskriminator sosial baru bagi mereka yang mungkin “lebih setara” daripada yang lain? Apakah kita tengah menyaksikan upaya untuk mengendalikan dan menekan masyarakat yang berani mempertanyakan pejabat pemerintah? Bagaimana dengan pejabat yang berusaha mengubah arti istilah seperti “vaksinasi penuh”, atau sama sekali mengabaikan syarat dan ketentuan untuk membujuk masyarakat agar menutup bisnis dan masyarakat luas.
Majalah berita Jerman, Der Spiegel, baru-baru ini menampilkan artikel bertajuk, “Study Finds Link Between Far Right and High Corona Rates in Germany.” (Studi Menemukan Hubungan Antara Kaum Ekstrim Kanan dan Tingginya Tingkat Corona di Jerman.” Subjudul ceritanya adalah: “Jumlah infeksi virus Corona meningkat tajam di beberapa bagian Jerman tempat partai sayap kanan AfD mendapat dukungan yang lebih besar. Apakah ini kebetulan? Para peneliti mengamati akibat wajar dan menarik beberapa kesimpulan yang bahkan mengejutkan mereka.”
Wartawan Der Spiegel Holger Dambeck dan Peter Maxwill lantas melaporkan: “Sebuah tim interdisipliner di Research Institute for Social Cohesion dan seorang peneliti dari Munich yang menyelidiki hubungan antara hasil Pemilu dan penyebaran pathogen memperlihatkan bahwa: Semakin tinggi jumlah suara yang didapat AfD di suatu wilayah pada Pemilu 2017, semakin cepat virus corona menyebar di sana pada 2020.”
Pesan politiknya jelas: Kaum konservatif adalah orang yang pura-pura tidak tahu yang menyebarkan penyakit yang membahayakan peradaban itu.
Temuan sensasional itu berfokus pada korelasi. Bukan pada hubungan sebab akibat. Jadi penelitian dan pelaporan spekulatif itu dapat dikatakan pekerjaan kotor yang ceroboh. Tujuan sebenarnya dari studi dan liputan majalah tersebut jelas untuk merusak lawan politik dengan mengaitkan mereka dengan penyakit yang mematikan.
Mengingat sejarah Jerman yang secara brutal menstigmatisasi berbagai populasi minoritas, maka sangat mengejutkan dan keterlaluan bahwa “lembaga penelitian” Jerman dan majalah berita mingguan berbasis di Hamburg itu terlibat dalam kejahatan busuk seperti itu.
Sayangnya, AS juga berusaha menyudutkan mereka yang mempertanyakan kewajiban vaksin serta orang-orang yang berkeberatan dengan keamanan dan kemanjuran jangka panjang dari berbagai vaksin.
Dalam jurnal medis Inggris, The Lancet, yang terbit 20 November 2021, Dr. Günter Kampf, seorang profesor di Institute of Hygiene and Environmental Science di University of Greifswald di Jerman menulis artikel yang bernas tentang persoalan itu. Judulnya, “COVID-19 : Menstigmatisasi Orang yang Tidak Divaksinasi Tidak Dapat Dibenarkan.”
Menurut dia, klaim ‘orang yang tidak divaksinasi mengancam yang divaksinasi COVID-19’, terlampau sederhana. Dia lalu mengangkat kasus Massachusetts, AS misalnya. Di sana, 74% kasus COVID-19 justru terjadi pada orang yang sudah divaksinasi sebagian atau seluruhnya. Dia karena itu meminta pejabat dan ilmuwan untuk menghentikan stigmatisasi atas orang yang tidak divaksinasi.
Kampf tidak sendirian. Dr. Paul Elias Alexander, ahli epidemiologi klinis dan dosen ilmu kedokteran dan metodologi penelitian berbasis bukti serta penasihat kebijakan pandemi COVID Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS juga sama. Dalam tulisannya yang diterbitkan oleh Brownstone Institute, Alexander menulis:
“… kekebalan yang ada harus dinilai sebelum vaksinasi… Itu menjadi bukti kekebalan yang setara dengan vaksinasi. Karena itu, warga yang kebal harus diberikan status sosial yang sama dengan yang kebal karena divaksin. Sikap ini akan mengurangi kecemasan masyarakat yang dipaksa untuk divaksin karena kehilangan pekerjaan atau yang ditolak hak istimewanya oleh masyarakat, dll. Pemisahan orang yang divaksinasi dari yang tidak divaksinasi serta memisahkan mereka, tidak didukung secara medis atau ilmiah.”
Laporan Alexander tentang kekebalan alami terhadap Covid-19 ini tampaknya diabaikan. Mengapa demikian? Ada 130 studi penelitian yang membahas tentang manfaat dan perlindungan relatif dari kekebalan alami tampaknya diabaikan. Karena itu, perlu dialog menyeluruh, terbuka dan jujur atas seluruh fakta, kondisi dan perawatan medis.
Yang mencolok, penentang pendekatan holistik yang lebih luas untuk COVID-19 adalah Ahli Bedah Umum Florida, Dr. Joseph Ladapo, yang mendapatkan gelar doktor dari Harvard.
Menurut dia, “Kita tengah menyaksikan otoritarianisme pemerintah yang tengah berkembang di seluruh dunia terkait dengan dorongan untuk memvaksinasi semua orang. Ada perintah untuk vaksin, penutupan wilayah, pemberian paspor yang mewajibkan vaksin, dan pembatasan kebebasan sipil. Kita juga melihat perlawanan masyarakat terhadap tindakan keras yang dipaksakan pemerintah. Protes meletus di seluruh Eropa atas kebijakan penutupan baru kawasan. Warga Australia juga mulai memprotes.”
Pemerintahan Biden berusaha mewajibkan masyarakat untuk divaksinasi. Kebijakan itu, belum pernah ada sebelumnya. Untungnya kebijakan itu digagalkan pengadilan yang mengganggapnya sebagai persoalan konstitusional yang serius. Namun, pihak Gedung Putih tetap saja “mendorong” dunia bisnis untuk terus memaksa karyawan untuk divaksinasi.
Terlepas dari dorongan Gedung Putih yang tampaknya menentang pengadilan, menggertak dunia bisnis, dan mengintimidasi warga, harus diingat bahwa ini masih Amerika Serikat dan Konstitusi masih menjadi hukum negara. Meskipun suara massa seolah menghilang dari ruang publik dibandingkan dengan pilihan untuk menerima vaksin – para pekerja Amerika kini pun mulai menentang.
COVID-19 memang penyakit serius yang terus berulang. Namun, tingkat pemulihannya kini mencapai 97% dan 99,75%. Publik Amerika tidak pernah dipaksakan untuk menerima vaksin. Rasa takut, terkejut, intimidasi, dan ultimatum bukanlah komponen pengambilan keputusan dari demokrasi perwakilan. Konstitusi tidak “dihapus” karena penyakit atau bencana alam. Kita harus berhati-hati kepada politisi dan pejabat lain yang berusaha menjalankan kekuasaan melalui “mandat” tanpa satu suara pun atau tanpa persetujuan masyarakat.
Kita harus melawan dorongan dan tindakan otoriter yang berusaha mengkonsolidasikan kekuasaan dan memaksakan kehendak mereka atas proses dan jaminan konstitusional yang kita nikmati. Konstitusi kita dirancang dan diratifikasi untuk tantangan seperti itu dan telah bertahan selama 231 tahun melalui segudang tantangan yang jauh lebih berat daripada virus. Konstitusi menjamin bahwa kita tetap menjadi negara yang bebas dan punya kesempatan terlepas dari pandemi dan para pejabat yang berupaya menangani kesehatan masyarakat.*
• Chris Farrell adalah Direktur Investigations di Judicial Watch dan mitra Gatestone Institute. Tulisan ini diterbitkan dalam website Gatestone Institute 2 Desember 2021. Diterjemahkan oleh Jacobus E Lato.