Penulis: Ipong D. Cahyono | Editor: Hadi S Purwanto
JAKARTA,SWARAJOMBANG.com – Ada yang menarik pada acara buka puasa bersama antara Ketua DPD RI dengan beberapa Senator terpilih pada Pemilu 14 Februari 2024 lalu. Para Senator terpilih itu mengaku salut dengan pribadi Ketua DPD RI yang menurut mereka sangat humble, rendah hati dan mau mendengar.
Penilaian itu terungkap dari Larasati Moriska, Senator terpilih asal Kalimantan Utara dan Mananwir Paul Finsen Mayor, Senator terpilih asal Papua Barat Daya. Larasati yang merupakan Senator termuda mengaku bersyukur diterima dengan baik oleh Ketua DPD RI. “Beliau (Ketua DPD RI) pribadinya hangat dan humble. Kita yang muda-muda diterima dan didengar,” kata Srikandi berusia 22 tahun tersebut saat ditemui usai buka puasa bersama di Rumah Dinas Ketua DPD RI, Jumat (29/3/2024).
Senator yang karib disapa Barbie itu mengaku kaget, lantaran undangan buka puasa bersama dikirim langsung oleh Ketua DPD RI. “Saya sendiri kaget, Beliau langsung chat saya secara pribadi. Kami berkomunikasi dengan baik, di mana Beliau memberikan arahan dan bimbingan kepada kami sebagai Senator baru,” kata Larasati.
Hal senada diungkapkan oleh Mananwir Paul Finsen Mayor, yang juga pemimpin adat Papua Barat Daya. Ia menilai Ketua DPD RI merupakan pemimpin yang mengayomi. “Beliau humble, rendah hati dan mau mendengar. Beliau merangkul seluruh kepentingan Nusantara. Pemimpin seperti ini yang kita butuhkan,” ujar Paul.
Sebagai Senator baru dari Tanah Papua, Paul mengaku semangat perjuangannya menyala begitu ia dirangkul oleh Ketua DPD RI. “Saya sebagai Senator dari Tanah Papua merasa Beliau perlu untuk terus didukung, untuk kita bersama-sama membangun Indonesia. Ini adalah silaturahmi dan konsolidasi untuk menyamakan persepsi dalam membangun bangsa ini. Prioritas kami di Papua adalah kesehatan, pendidikan dan lapangan pekerjaan,” tutur Paul.
Dalam kesempatan itu, Ketua DPD RI menilai ada tiga persoalan fundamental atau pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh bangsa ini. Dan, Senator asal Jawa Timur itu menilai hal tersebut menjadi bagian dari tanggung jawab DPD RI yang perlu untuk diperjuangkan.
“Ketiga persoalan itulah yang mengakibatkan ketidakadilan dan kemiskinan struktural yang masih dirasakan oleh masyarakat di daerah,” terang LaNyalla.
Dikatakan LaNyalla, dari pemetaan tersebut, ada tiga persoalan fundamental yang penyelesaiannya juga butuh langkah yang juga fundamental. Pertama adalah keadilan fiskal dalam hubungan pusat dan daerah. Dimana APBN yang diterima daerah di kisaran 30 persen. Sementara Pusat mengelola 70 persen.
LaNyalla melanjutkan, sedangkan beban jumlah pegawai yang ditanggung pemda sebesar 78 persen sedangkan pusat hanya 22 persen. Ratio proporsi anggaran dengan beban urusan yang berbanding terbalik antara pusat dengan daerah pun disebut berimbas pada kapasitas pemda dalam memberikan layanan.
“Penyelenggaraan kewajiban daerah menjadi lemah dan terbatas sehingga standar pelayanan minimal pemda rata-rata hanya mencapai 58% di provinsi dan 59% di kabupaten/kota. Sementara kementerian dengan porsi APBN yang sangat besar ternyata memiliki keterbatasan kemampuan rentang kendali hingga ke daerah, terutama di daerah kepulauan dan daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar)” papar LaNyalla.
Kedua, lanjut La Nyalla, ketidakadilan yang dirasakan daerah terhadap pengelolaan SDA dan sumber ekonomi lainnya di daerah, yang output-nya justru memindahkan kantung kemiskinan dan memperparah bencana ekologi.
“Kami melihat paradigma pembangunan yang diterapkan adalah pembangunan di Indonesia, bukan membangun Indonesia. Karena untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan PDB, segala kemudahan diberikan ke investor asing dan swasta untuk menguasai sumber daya daerah,” ujarnya.
PR terakhir, yakni asas dan sistem bernegara Indonesia yang dinilai LaNyalla telah meninggalkan filosofi dasar dan identitas konstitusi Pancasila.
“Karena berdasarkan kajian akademik yang dilakukan sejumlah profesor di beberapa perguruan tinggi, ditemukan kesimpulan bahwa UUD hasil perubahan pada 1999-2002 yang sekarang kita gunakan telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi,” ujar dia.
“Perubahan isi dan pasal-pasal itu membuat UUD 1945 justru menjabarkan semangat individualisme, dan liberalisme, serta ekonomi yang kapitalistik, sehingga bangsa kita semakin tercerabut dari akar budaya dan sejarah kelahirannya,” tambahnya.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi istri Enny LaNyalla dan dua Senator incumbent yakni Elviana (Jambi) dan Andi M Ihsan (Sulawesi Selatan). Turut mendampingi Sekjen DPD RI Rahman Hadi, Deputi Persidangan Oni Choiruddin serta Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin dan Brigjen Pol Amostian.
Sedangkan Senator terpilih yang hadir pada buka puasa tersebut adalah Azhari Cage (Aceh), Tgk Ahmada (Aceh), Darwati A Gani (Aceh), Dinda Rembulan (Babel), Hj Leni Hariati John Latief (Bengkulu), Al Hidayat Samsu (Sulsel), Muhammad Hidayatollah (Kalsel), Mananwir Paul Finsen Mayor (Papua Barat Daya), Happy Djarot (Jakarta), Larasati Moriska (Kaltara), Destita Khairilisani (Bengkulu), PYM Syarif Machmud Melvin Alkadrie (Kalbar), Mirah Midadan (NTB) dan M Rifki Farabi (NTB).