Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
SURABAYA, SWARAJOMBANG.COM-Peyek atau rempeyek adalah bagian dari jenis gorengan atau kudapan (makanan kecil) yang berbahan dasar tepung. Kemudian terdapat aneka isian seperti kacang, ebi, teri, dan lainnya.
Rempeyek adalah gorengan yang paling cocok dicampur saat menyantap pecel atau gado-gado. Dilansir dari Indonesiakaya.com, konon, rempeyek telah ada sejak masa Kesultanan Mataram sekitar abad Ke-16.
Namun, masih perlu kajian mendalam, mengingat sumber sejarah yang terbatas. “Rempeyek Yogyakarta merupakan kudapan berusia tua yang sejak dulu ada,” tulis Murdijati Gardjito dkk dalam Kuliner Yogyakarta: Pantas Dikenang Sepanjang Masa, dikutip Selasa (22/4/2025).
Asal-usul rempeyek atau peyek, makanan goreng khas Jawa, bisa ditelusuri ke masa Kesultanan Mataram pada abad ke-16. Rempeyek sudah muncul dalam serat Centhini pada abad ke-18, yang menunjukkan bahwa makanan ini sudah dikenal dan menjadi bagian dari budaya Jawa sejak lama.
Di Yogyakarta, masyarakat mengenal banyak jenis peyek, seperti peyek kacang, peyek kedelai, peyek teri, dan peyek jingking (anak kepiting). Kemudian rempeyek udang, peyek laron (rayap bersayap), hingga rempeyek gereh pethek (ikan asin kecil).
Ukurannya pun beragam, mulai dari seukuran genggaman tangan, hingga sebesar ban motor kecil. Bukan sekadar makanan pelengkap, rempeyek juga memiliki filosofi yang dipercaya masyarakat.
Misalnya rempeyek teri, imbuh Gardjito, cocok menjadi teman makan sayur lodeh. Maknanya adalah sebagai simbol kebersamaan bagi orang Jawa.
Rempeyek gereh pethek juga tidak bisa dilepaskan dari acara selamatan. “Jenis rempeyek ini adalah perlambangan dari gotong royong dan persatuan,” tulis Gardjito.
Sejak dulu, rempeyek juga merupakan bagian dari sajian dalam upacara adat di Jawa yang berkaitan dengan daur hidup manusia. Upacara ini merupakan wujud penghayatan manusia terhadap tiga fase penting kehidupannya yakni kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Misalnya, sajian dalam upacara mitoni (selamatan saat bayi berumur tujuh bulan dalam kandungan), upacara brokohan atau barokahan setelah si jabang bayi lahir. Kemudian khitanan (sunat), upacara pernikahan, hingga kenduri pada upacara kematian.
Masyarakat Kotagede zaman dulu juga menggunakan rempeyek sebagai pelengkap sesaji untuk ritual. Sebagaimana menurut Retno Widayanti dalam “Profil Makanan Tradisional di Kotagede”.
Tepatnya dalam skripsi di Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2007. Perihal ini, rempeyek menjadi pendamping nasi ruwahan yang dibawa ke masjid. pada upacara ritual ruwahan untuk menyambut bulan Ramadan.
Selain itu sesaji untuk acara pernikahan dan khitanan (sunatan), serta tahlilan untuk memperingati meninggalnya seseorang. Saat ini, rempeyek identik sebagai lauk maupun kudapan.
Karena punya pilihan isian, rempeyek disukai berbagai kalangan. Rasanya renyah dan gurih. Rasa gurih diperoleh dari bumbu yang terdiri dari kemiri, ketumbar, bawang putih, dan garam.
Semua bumbu dihaluskan dan ditambahkan pada adonan rempeyek sebelum digoreng. Biasanya rempeyek dimasukkan dalam toples agar renyahnya terjaga dan tahan lama.
Rempeyek juga mudah ditemukan dan dijual di warung makan, pasar. Selain itu, bisa ditemukan di pasar swalayan. **
sejak lama