Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
SWARAJOMBANG.COM, JOMBANG-
Fenomena pernikahan dini di Kabupaten Jombang terus menjadi perhatian. Hingga Mei 2025, sebanyak 221 remaja tercatat telah menikah sebelum berusia 20 tahun. Data ini dirilis oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DPPKB PPPA) Jombang.
Kepala DPPKB PPPA Jombang, dr Pudji Umbaran, menjelaskan bahwa sebagian besar pernikahan dini terjadi karena tradisi yang menganggap wajar menikahkan anak setelah lulus SMA. Namun, tak sedikit pula yang dipicu oleh kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas.
“Budaya menikahkan anak setelah lulus SMA masih cukup kuat di Jombang. Tapi ada juga yang menikah karena hamil di luar nikah, ini harus kita kontrol bersama,” ujar Pudji, Selasa, 1 Juli 2025.
Pudji menegaskan bahwa pernikahan pada usia di bawah 20 tahun, khususnya bagi perempuan, termasuk kategori pernikahan dini dan berisiko tinggi terhadap kesehatan. Dampaknya antara lain anemia, malnutrisi, kematian saat melahirkan, gangguan psikologis, hingga ketidaksiapan ekonomi pasangan muda.
Dari 221 kasus pernikahan dini yang tercatat, semuanya berlangsung secara resmi dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) di seluruh kecamatan. Namun, tidak semua pasangan mengajukan dispensasi nikah, karena aturan hanya mewajibkan dispensasi bagi yang berusia di bawah 19 tahun.
“Program BKKBN menetapkan usia ideal menikah adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Ini menjadi bagian dari kampanye nasional,” imbuhnya.
Pernikahan dini terjadi hampir merata di seluruh kecamatan di Jombang. Kecamatan Ngoro mencatat angka tertinggi dengan 26 kasus, disusul Kudu (22 kasus), serta Kabuh dan Jogoroto masing-masing 17 kasus. Dua kecamatan tercatat nihil kasus, yaitu Diwek dan Kudu. Sementara di Kecamatan Perak hanya ada satu kasus.
Pudji menambahkan bahwa pernikahan anak turut berkontribusi pada angka putus sekolah, kemiskinan ekstrem, serta potensi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Ketidaksiapan mental dan ekonomi menjadi faktor utama.
“Anak yang menikah dini umumnya harus bekerja, tapi biasanya hanya mendapat pekerjaan kasar dengan upah rendah. Ini menciptakan lingkaran setan kemiskinan,” jelasnya.
Dalam empat tahun terakhir, DPPKB PPPA mencatat lebih dari 2.600 kasus pernikahan dini di Jombang. Angka ini berbeda dengan data dari Pengadilan Agama karena DPPKB PPPA menggunakan batas usia di bawah 20 tahun, sedangkan dispensasi nikah merujuk pada usia di bawah 19 tahun.
Pudji menyebut fenomena ini sebagai tantangan besar dalam upaya perlindungan anak dan pengendalian penduduk. Dampaknya langsung terasa terhadap kualitas generasi muda dan pembangunan sumber daya manusia di Jombang.***