Oleh: Hernawan*
GELARAN AFF 2020 yang dihelat di tahun 2021 dan berakhir di tahun 2022, Timnas Indonesia mencatatkan rekor runer up terbanyak, yaitu 6 kali.
Seakan tak bisa terlepas dari kutukan runer up, Timnas Indonesia meski bisa menembus 6 kali masuk fase final tapi sebanyak itu pula capaian yang diraih, yakni runer up.
Sebagaimana prediksi di tulisan saya yang pertama, bahwa pelatih Timnas Indonesia Shin Tae Yong (STY) di gelaran AFF 2020 ini hanya menargetkan membentuk kerangka Timnas Indonesia di masa depan.
Tak tanggung-tanggung, kerangka Timnas bentukan Shin Tae Yong ini bisa dimanfaatkan sekaligus untuk dua kategori Timnas yaitu Timnas senior dan Timnas u23, tinggal menambah beberapa pemain pelapis sesuai dengan kategorinya.
Nama-nama seperti Witan Sulaiman, Pratama Arhan, Asnawi Mangkualam, Dewangga, Irianto, Rizki Ridho, Riyandi dan Nadeo adalah andalan Shin Tae Yong di Timnas untuk kategori baik senior maupun u23.
Akankah terwujud Timnas masa depan?
Kalau boleh saya mengelompokan, ada 2 faktor yang berpengaruh yakni faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang berkaitan langsung secara teknis di dalam pembentukan Timnas itu sendiri, mulai dari penunjukkan pelatih bersama crew/asisten-asiatennya, sampai dengan pemilihan pemain.
STY adalah pelatih berlabel dunia, kwalitas dan dedikasinya sudah teruji, disiplin, keras dan tegas adalah warna karakternya.
Namun sehebat-hebat manusia, dia bukanlah malaikat, ada beberapa kekurangan adalah manusiawi.
Misal dalam pemilihan pemain, di skuat Timnas untuk AFF 2020 tak ada satupun dari 4 striker pilihan STY yang berstandart Timnas.
Alhasil, STY pun mengeluh tentang kwalitas striker pilihannya. Dari 8 kali bertanding, Timnas Indonesia mengkoleksi 20 gol, dan hanya 2 gol yang dihasilkan dari hanya seorang striker yaitu Ezra Walian.
Meski demikian capaian Timnas Indonesia di gelaran AFF 2020 patut diapresiasi, dengan materi pemain-pemain muda mereka bisa menembus fase finsl dengan menyingkirkan kandidat lainnya seperti Vietnam, Malaysia, dan tuan rumah Singapore.
Kedua, faktor eksternal. Faktor ini yang sering kurang diperhatikan oleh para pengamat bola, padahal faktor ini sangat dominan terhadap kesuksesan pembentukan Timnas.
Faktor eksternal ini meliputi antara lain Federasi, dalam hal ini PSSI.
Kebijakan-kebijakan PSSI sering tidak sinkron bahkan berlawanan dengan kebutuhan Timnas.
Sebut saja tentang rekrutmen pemain, pelatih menghendaki ikut sertanya peran pemain-pemain naturalisasi/ keturunan di Timnas, tapi direktur teknik PSSI adalah sosok yang anti pemain naturalisasi dan keturunan (ini sudah bukan rahasia lagi), meski akhirnya keinginan tersebut bisa dikabulkan.
Tapi untuk gelaran AFF 2020 sudah terlambat, mungkin untuk agenda Timnas kedepan bisa terakomodasi.
Satu lagi kebijakan PSSI yang menghambat rekrutmen pemain Timnas adalah satu klub hanya boleh diambil 2 pemain, meski akhirnya kebijakan itu diralat.
Tentang kinerja PSSI di bidang loby dan diplomasi kepada AFF, AFC ataupun FIFA dinilai masih lemah.
Kasus seperti karantina Elkan Bagot dan 4 pemain yang tidak boleh dimainkan di leg 2 final AFF 2020, adalah bukti lemahnya kinerja PSSI dibidang loby dan diplomasi.
Belum lagi hoby PSSI untuk berganta-ganti pelatih Timnas, namun kelihatannya penunjukkan STY kali ini berdurasi panjang dan memang ditargetkan untuk membangun Timnas masa depan.
Kedua, kompetisi internal. Jadwal Liga 1 yang tidak sinkron dengan jadwal agenda Timnas, menjadikan situasi yang dilematis, dimana kepentingan klub merasa dinomorduakan dengan kepentingan Timnas.
Perangkat pertandingan di kompetisi Liga 1, sebut saja wasit, masih banyak wasit Indonesia meski berlisensi FIFA tapi kinerjanya dibawah standart. Padahal wasit itu juga punya peran membentuk karakter pemain.
Ketiga, eksistensi klub lLga 1 di Indonesia. Dari 18 klub Liga 1 Indonesia, belum satupun yang mempunyai sarana dan prasarana sebagaimana standart klub profesional.
Oleh karenanya pemain-pemain yang dihasilkan juga kurang memenuhi standart kwalitas Timnas.
Hal ini terbukti dari keluhan STY terhadap pemain-pemain Timnas Indonesia, mereka belum mumpuni dalam kontrol dan passing, padahal teknik kontrol dan passing itu sebetulnya ilmu dasar bermain sepakbola yang semestinya sudah harus diajarkan kepada para pemain sepak bola di SSB atau Akademi Sepakbola usia dini.
Untuk faktor eksternal ini kita pesimis ada perubahan yang signifikan.
Pertanyaannya, akankah terwujud harapan memiliki Timnas masa depan yang tangguh ?
Beban berat berada di pundak STY untuk mewujudkan Timnas Indonesia yang mampu bersaing tidak hanya di kawasan Asia Tenggara saja, namun juga di level Asia, bahkan mungkin juga di level dunia.
*Penulis adalah mantan pengurus PSID (Persatuan Sepakbola Indonesia Djombang) era 1980-an dan pemerhati sepakbola.