Penulis: Hadi S Purwanto | Editor: Hadi S Purwanto
JOMBANG, SWARAJOMBANG.com – Sekitar empat tahun lalu, tepatnya 2017, Slamet Suhendri membawa sekitar 2 kilogram bibit kopi Arabika Gayo dari Kabupaten Aceh Tengah, Daerah Istimewa (DI) Aceh.
Slamet Suhendri, warga Despot Linge, Kecamatan Linge, Aceh Tengah adalah petani kopi dan menjadi salah seorang menantu Sami’in, transmigran asal Jombang, Jawa Timur yang berangkat ke Aceh tahun 1981.
Ketika Slamet mengunjungi keluarganya di Jombang, ia mencoba membawa bibit kopi Arabika Gayo atau yang lebih dikenal dengan Arabika Ateng (Aceh Tengah) Super dan P88) diberikan kepada keponakannya, Eric Sugianto untuk dikembangkan di Wonosalam, Jombang.
Saat kembali ke Aceh, Slamet juga membawa bibit kopi Asisa, salah satu varietas kopi lokal Wonosalam untuk dikembangkan juga di Aceh Tengah.
Sekitar tahun 2017, Eric sudah menanam sekitar 1.500 pohon Arabika Ateng Super dan P88 yang disemainya sendiri di lahannya seluas sekitar satu hektar.
Namun sayang, tanamannya tidak begitu terawat lantaran dia pergi ke Aceh untuk belajar menanam Arabika dari pamannya.
“Sebagian sudah berbuah, tapi sebagian belum,” tutur Eric kepada SWARAJOMBANG.com di rumahnya di Dusun Sumberarum, Desa Sambirejo, Kecamatan Wonosalam, Jombang, Minggu (23/1/2022).
Bahkan, kata Eric, sebagian ada yang mati lantaran tidak ada yang merawat saat dia tinggal ke Aceh, sehingga harus menyisipi dengan bibit baru.
Sementara beberapa pohon dia tanam di pekarangan rumahnya bercampur dengan kopi jenis Robusta dan Asisa. Anehnya, kopi Arabika Ateng Super dan P88 yang dia tanam buahnya tidak pernah berhenti dan sudah tiga kali berbuah.
“Sepanjang tahun kopi (Arabika Ateng Super dan P88) ini berbuah terus. Sedangkan yang Robusta dan Asisa hanya sekali berbuah,” tutur Eric.
Menurut Eric, sampai saat ini ada hal yang belum bisa dia jawab soal kopi Arabika yang dia tanam, yakni daunnya tidak selebar yang di Aceh.
“Buahnya pun lebih kecil, tidak seperti yang saya lihat di Aceh,” kata Eric.
Organik
Secara teknis dia tidak tahu secara persis, apakah perubahan bentuk daun dan buah itu lantaran kurang pemupukan ataukah faktor lain.
“Saya selalu pakai pupuk organik, tidak pernah pakai pupuk kimia. Begitu juga pestisida, saya selalu pakai pestisida nabati atau pesnab,” paparnya.
Menurut Eric, bisa jadi perubahan fisik kopi itu, daun dan buah yang lebih kecil lantaran iklimnya yang berbeda.
“Di Despot Linge itu ketinggiannya sekitar 1.200 sampai 1.400 mdpl, sedangkan di sini (Wonosalam) Cuma sekitar 7—sampai 800 mdpl,” ujar Eric.
Slamet Suhendri ketika dimintai tanggapannya soa perubahan tanaman dan hasil kopi Arabika Ateng Super di Wonosalam menyatakan kemungkinan karena faktor iklim yang kurang tinggi.
“Bisa jadi karena pemupukan dan Wonosalam jauh dari gunung berapi,” terang Slamet.
Kopi Arabika Ateng Super itu, kata Slamet, yang buahnya tidak sebesar seperti yang dihasilkan di Aceh tentu hanya untuk kebutuhan local dan belum bisa ekspor.
“Tapi dibanding varietas lain, Arabika labih menguntungkan,” ujar Slamet.
Sementara Kepala Dinas Pertanian Jombang, Ir Moch Rony MM ketika diminta konfirmasi menyatakan belum tahu kalau ada warga Wonosalam yang mengembangkan kopi jenis Arabika Ateng Super.
“Saya baru dengar itu. Tolong saya minta alamatnya, nanti sya ceknya,” ujar Rony.
Dikatakan, mengenai perubahan fisik pohon kopi yang daunnya lebih kecil dan buahnya yang tidak sebesar di Aceh, Rony akan mencoba menghubungi Kopi dan Kakau Jember untuk diteliti.
“Coba nanti saya akan koordinasi dengan Litbang Kokau Jember untuk meneliti masalah (kopi) itu,” kata Rony.