Oleh Natalius Pigai
MASIH ingat kasus Suroto, seorang peternak ayam yang diamankan polisi saat membentangkan poster keluhan harga pakan ternak di depan konvoi Presiden Jokowi saat mengunjungi makam Bung Karno di Blitar pada bulan September lalu? Publik menilai aksi polisi tersebut berlebihan dan tidak mencerminkan sisi humanis dalam mengantisipasi gangguan Kamtibmas di masyarakat, pun dalam konteks pengamanan seorang pejabat negara, termasuk Presiden.
Menariknya, Polri yang terpojok karena dianggap tak humanis ketika itu tidak membela diri. Kapolri Jenderal Listyo Sigit berdiri paling depan memberikan perintah pada seluruh jajarannya melalui Surat Telegram Kapolri agar bersikap humanis kepada masyarakat.
Dia tunaikan janjinya, ketika Uji Kepatutan dan Kelayakan di Komisi III sebelum dilantik, Listyo membawa misi besar transformasi Polri dan salah satu aspek penting yang ditegaskan dia saat itu terkait basis penghormatan Hak Asasi Manusia dalam seluruh tindakan kepolisian.
Polri dibawah pimpinan Jenderal Listyo Sigit sadar betul bahwa watak humanis kepolisian menjadi ujung tombak institusi ini agar kembali mendapat kepercayaan masyarakat. Polri dengan kata lain membawa misi besar pengarusutamaan (mainstream) Hak Asasi Manusia dalam pelayanannya kepada masyarakat. Dibawah Listyo, penegakan hukum dilakukan dengan tegas namun tetap humanis. Polri juga memberi pesan bahwa penegakan hukum utamanya hadir untuk memberikan rasa keadilan dan bukan penegakan hukum yang semata-mata dalam rangka kepastian hukum. Bukan hanya itu, aspek penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia tampak dalam komitmen Listyo Sigit berada di garis depan dalam mengawal kebebasan sipil sebagai roh demokrasi.
Apa bentuknya? Kapolri dalam banyak kesempatan selalu menekankan strategi pemolisian yang mengutamakan soft approachdan bukan terutama pagelaran kekuatan (show of force)yang cenderung menunjukkan watak determinan Polri di hadapan masyarakat selama ini.
Polri paham bahwa era demokrasi yang membawa agenda besar Hak Asasi Manusia tidak lagi memperlakukan rakyat sebagai obyek penguasaan tetapi subyek kekuasaan.
Perubahan orientasi tugas dan peran kepolisian yang selama ini cenderung ‘menertibkan’ masyarakat menjadi ‘bersama masyarakat menciptakan ketertiban’. Polri seperti terus diingatkan Listyo harus mampu memenuhi harapan rakyat atau berorientasi pada kepentingan rakyat.
Bahkan dalam beberapa kesempatan dia juga mengingatkan bahwa polisi adalah pelayan rakyat. Implementasinya jelas, watak arogan kepolisian tak boleh lagi ada, polisi yang cendrung mencari-cari kesalahan masyarakat dan mengutamakan kekerasan tak boleh lagi diberi tempat. Jika perlu harus mendapat tindakan tegas. Selain itu, karakter humanis kepolisian oleh Listyo juga diterjemahkan antara lain melalui optimalisasi peran polisi wanita (Polwan) yang menurut dia memiliki peran penting dalam mewujudkan aparat kepolisian yang humanis dan dekat dengan masyarakat. Di sisi lain, garis kebijakan yang memberi tempat terbuka dan luas bagi peran Polisi Wanita di internal kepolisian memperlihatkan komitmen Listyo pada isu kesetaraan gender yang basis argumentasinya juga menginduk pada pengarusutamaan Hak Asasi Manusia. Seperti kata Lystio saat membuka The 58th International Association of Women Police Training Conferencedi Labuan Bajo, Flores, pada 7 November lalu.”
Jika kita mau mengubah pandangan diskriminatif terhadap perempuan, maka kita harus memulainya dari penyelesaian stereotip di bidang profesi kita yaitu keamanan dan penegakan hukum. Arahan Kapolri juga jelas ketika dia menempatkan Polsek-Polsek yang berada di garis depan pelayanan kepolisian melakukan reposisi peran yang tidak lagi berurusan dengan tugas penegakan hukum melainkan preemtive dan preventive yang fokus pada langkah-langkah pencegahan dan mengedepankan penerapan restoratif justice.
Polri dibawah Lystio juga punya perhatian besar pada kebijakan afirmatif kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan dan kaum disabilitas. Jika diringkas, komitmen Hak Asasi Manusia oleh Kepolisian merupakan langkah maju dari salah satu upaya menuju Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan).
Perlu Dukungan Masyarakat Sipil dan Dunia Pers
Hal-hal diatas tentu tidak lahir dari ruang kosong. Basis HAM yang dibangun Polri hari ini selain muncul dari tuntutan masyarakat, juga merupakan konsekuensi logis dari penghargaan Hak Asasi Manusia terkait kebebasan sipil, yang di dalamnya juga melekat institusi pers.
Jika kita cermati, reaksi publik yang selama ini protes terhadap aksi polisi tidak humanis dan abai terhadap Hak Asasi Manusia, telah memunculkan gambaran atau citra polisi yang otoriter, represif dan tidak menghargai kebebasan sipil dan juga kebebasan pers.
Masih ingat kasus mural yang berisi kritikan beberapa waktu lalu, telah menimbulkan penilaian buruk bagi polisi karena dianggap membungkam kebebasan masyarakat. Media sosial ramai-ramai menaikkan tagar seakan-akan polisi menjadi musuh kebebasan sipil.
Apa iya demikian? Apa iya Polisi yang sudah punya komitmen mengenakan baju HAM, masih juga dianggap anti kebebasan sipil pada saat yang sama? Mari kita uji.
Bukankah kebebasan sipil sesuatu yang tidak mutlak sifatnya karena dia juga dituntut memiliki tanggung jawab etis. Terhadap apa? Ya, tanggung jawab terhadap kebebasan sosial. Bukankah kebebasan individu setiap warga negara tidak bersifat mutlak sebab dia dibatasi oleh kebebasan individu-individu yang lain?
Ternyata faktanya Listyo sudah melakukan beberapa kegiatan terkait Hari Hak Asasi Manusia yaitu lomba mural, dan orasi kebebasan ekspresi yang melibatkan masyarakat secara masif di 34 Polda. Kebijakan tersebut sebagai implementasi dari peran dan tugas kepolisian berbasis Hak Asasi Manusia sebagaimana diamanatkan berdasarkan Perkap Nomor 9 Tahun 1999 dan juga UU Nomor 40 Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers.
Membangun Watak Humanis di Institusi Polri
Jika demikian soalnya, adalah tugas bersama baik Polri maupun masyarakat memastikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia menjadi pegangan bersama. Agenda besar pengarusutamaan HAM bukan hanya dituntut pada kinerja Kepolisian, tetapi juga pada masyarakat sipil dan institusi pers.
Salah satu upaya yang harus dipastikan baik terhadap Polri maupun masyarakat sipil dan pers adalah kerja terus-menerus melakukan internalisasi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Internalisasi nilai HAM bisa dibentuk selain melalui pembelajaran atau pelatihan tentu efektif melalui praktek terus-menerus.Termasuk tidak resisten jika ternyata mendapat aksi korektif.
Polri saat ini punya Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sekarang tinggal bagaimana peraturan ini menjadi nilai yang dihidupi oleh semua anggota Polri.
Sama halnya pers, di sisi lain dituntut untuk menjalankan secara konsekuen panduan kode etik jurnalistik dan prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan setiap tugasnya. Internaliasi nilai adalah proyek jangka panjang yang harus muncul dalam pikiran dan setiap tindakan.
Di sisi Polri, berita baiknya adalah komitmen HAM yang selama ini digaungkan Listyo mulai membuahkan hasil. Terbukti dengan terus menurunnya jumlah pengaduan masyarakat terkait kepolisian di Komnas HAM berdasarkan periode 2013-2021. Jika pada tahun 2013 laporan msayarakat terkait kepolisian di Komnas HAM sebanyak 1.938 Kasus, pada tahun 2020 turun menjadi 1.122 kasus dan pada tahun 2021 saat Lystio menjabat turun drastis menjadi 571 kasus. Pelan tapi pasti, citra polisi humanis menjadi branding baru Polri di bawah kepemimpinan Listyo.
Polri Makin Dipercaya sebagai Humanis dan Emansipator
Seorang penulis berkebangsaan Italia Francesco Pico pada 1496 menerbitkan buku saudaranya, Giovanni Pico della Mirandola berujudul ‘de hominis dignitate’ (orasi pada martabat manusia). Pico menegaskan bahwa makna kemanusiaan atau humanitas tidak dapat diandaikan begitu saja, tetapi harus diketemukan dan dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru.
Saat ini Kapolri Jenderal Listyo bersama gerbong besar institusi Polri sedang membawa humanisme itu dalam konteks baru pelayanan mereka pada masyarakat. Pun dari kacamata filsuf Yahudi Emanuel Levinas yang menuntut komitmen gambaran humanis yang dialogis.
Serupa Levinas, Polri dan juga masyarakat sipil dituntut untuk memahami bahwa kemanusiaan kita juga dibangun oleh kemanusiaan orang lain, dan sebaliknya kehadiran kita harus memberi kontribusi bagi kemanusiaan orang lain. Termasuk di dalamnya citra polisi humanis itu harus punya karakter emansipatoris yang mampu menghapus segala pendindasan, ketidaksamaan dan ekploitasi yang muaranya pada harkat dan martabat manusia yang dihormati, dimuliakan dan dikembangkan segala segi kehidupannya.
Hasil survei yang dirilis Indicator Politik menempatkan Polri sebagai institusi yang makin dipercaya publik, dengan tingkat kepercayaan 80,2 persen. Hal ini menunjukkan sedang terjadi reformasi subtansial di dalam tubuh Polri. Oleh karena itu perlu dukungan dari seluruh anggota korps Bahyangkara mulai dari tingkat atas sampai bawah dan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia.***