Penulis: Wibisono | Editor: Yobie Hadiwijawa
MALANG, SWARAJOMBANG.COM-Hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk Jawa Timur, saat ini mengalami suhu dingin atau “bediding”. Fenomena ini akan terjadi hingga jelang puncak kemarau yaitu pada bulan Juli hingga Agustus dan terkadang hingga September.
Berdasarkan penjelasan resmi di laman BMKG, udara dingin tersebut disebabkan adanya perubahan pola angin.
Angin Monsun Australia bertiup menuju Benua Asia melewati Wilayah Indonesia dan perairan Samudera Hindia yang memiliki suhu permukaan laut relatif lebih rendah (dingin). Angin Monsun Australia bersifat kering dan sedikit membawa uap air, apalagi pada malam hari di saat suhu mencapai titik minimumnya.
Selanjutnya ia akan mengakibatkan suhu udara di beberapa wilayah di Indonesia terutama Wilayah Bagian Selatan Khatulistiwa meliputi Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara terasa lebih dingin dari biasanya.
Selain akibat Monsun Australia, fenomena udara dingin juga disebabkan oleh faktor posisi geografis, kondisi topografis, ketinggian wilayah, dan kelembaban udara yg relatif kering. Di sisi lain, pada bulan Juni – Agustus posisi sudut datang dari sinar matahari sedang berada di posisi terjauh dari Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian Selatan Khatulistiwa.
Biasanya, cuaca cerah akan mendominasi hampir di seluruh pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra bagian selatan, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan. Angin dominan dari arah timur hingga tenggara membawa massa udara kering dan dingin dari daratan Australia ke Indonesia sehingga kurang mendukung proses pertumbuhan awan hujan.
Hal tersebut secara langsung berdampak pada langit yang lebih cerah sepanjang hari. Kurangnya tutupan awan pada malam hari menyebabkan radiasi panas dari permukaan bumi terpancar ke atmosfer tanpa ada hambatan, mengakibatkan penurunan suhu secara signifikan. Selain itu, angin yang tenang di malam hari menghambat pencampuran udara, sehingga udara dingin akan terperangkap di permukaan bumi.
Bediding berasal dari bahasa Jawa, yang berarti ‘dingin menggigit’. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suhu udara yang menurun drastis, biasanya terjadi antara bulan Juni hingga Agustus.Penurunan suhu ini bisa sangat ekstrem, terutama di kawasan pegunungan seperti Dieng, Batu, Lembang, hingga wilayah tinggi di Bali seperti Kintamani.Fenomena ini bukan hasil dari gangguan cuaca yang tiba-tiba, melainkan bagian dari siklus tahunan yang terkait erat dengan musim kemarau dan pergerakan angin.Pada saat musim kemarau, langit cenderung cerah karena minimnya tutupan awan.Hal ini menyebabkan panas dari permukaan bumi pada siang hari akan dengan cepat terlepas ke atmosfer saat malam tiba, menyebabkan suhu turun drastis.
Dampak Bediding
Secara meteorologis, bediding disebabkan oleh radiasi termal maksimum.Ketika langit sangat cerah dan tidak tertutup awan, permukaan bumi memancarkan kembali panas yang diterimanya pada siang hari ke angkasa tanpa hambatan.
Proses ini dikenal sebagai radiational cooling. Karena tidak ada awan yang menahan panas, suhu udara di permukaan tanah menjadi sangat rendah pada malam hari.Faktor lain yang memperkuat fenomena ini adalah posisi matahari yang cenderung berada di belahan bumi utara saat pertengahan tahun, sehingga wilayah Indonesia menerima sinar matahari dengan sudut yang lebih miring. Akibatnya, intensitas pemanasan lebih rendah dibandingkan musim hujan..
Meski terkesan sederhana, bediding bisa menimbulkan berbagai dampak yang cukup signifikan.Salah satu yang paling terasa adalah kesehatan masyarakat. Banyak orang, terutama lansia dan anak-anak, mengalami gangguan pernapasan seperti flu, batuk, hingga asma akibat udara yang terlalu dingin.Di beberapa daerah, masyarakat terpaksa menggunakan pakaian berlapis atau selimut tebal bahkan saat beraktivitas pagi hari.Dampak lain yang cukup mencolok terjadi di sektor pertanian. Di kawasan Dieng, misalnya, suhu ekstrem yang bisa mencapai di bawah 5°C menyebabkan embun beku atau yang dikenal dengan “bun upas”.Fenomena ini bisa merusak tanaman sayuran seperti kentang dan kubis karena jaringan tanaman membeku. Para petani pun harus lebih waspada dan sigap untuk mengantisipasi kerugian.Selain itu, fenomena bediding juga berdampak pada sektor pariwisata. Uniknya, suhu dingin justru menarik wisatawan ke beberapa daerah.***