Penulis: Hadi S Purwanto | Editor: Wibisono
JAKARTA, SWARAJOMBANG.COM – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI Febrie Adriansyah dilaporlkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi )KPK) oleh Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi yang terdiri dari Indonesian Police Watch (IPW), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST), dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan Jampidsus ke KPK, Senin (10/3/2025).
Ronald Loblobly, Koordinator Koalisi Sipil Anti Korupsi kepada awak media usai melaporkan kasus itu ke KPK menegaskan bahwa mereka sudah mengantongi bukti kuat tentang dugaan rasuah yang melibatkan Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah.
“Tempo hari kan saat di DPR yang bersangkutan sempat membantah bahwa lelang aset tambang dalam kasus Jiwasraya dilakukan oleh PPA. Karena bantahannnya, kami sampaikan tiga kasus dugaan lainnya,” ujar Ronald Loblobly.
Dari berbagai sumber didapat keterangan, mereka melaporkan Febrie atas empat dugaan penyalahgunaan kewewenangan dan atau tindak pidana korupsi dalam penyidikan pada Jampidsus, terkait kasus Jiwasraya, perkara suap Ronald Tannur dengan terdakwa Zarof Ricar, penyalahgunaan kewenangan Tata Niaga Batubara di Kalimantan Timur, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Ronald menjelaskan, sebelumnya pihaknya sudah melaporkan kasus dugaan penyalahgunaan dalam penanganan kasus Jiwasraya. Namun, karena Febri sempat membantah, maka pihaknya menyampaikan tiga laporan penyalahgunaan penanganan kasus korupsi lainnya ke KPK.
Menurut Ronald, tiga kasus tambahan ini sengaja dia laporkan untuk menjelaskan urgensi agar kasus serupa tak terulang di kemudian hari.
“Jadi tiga kasus lainnya itu adalah penekanan bahwa apa yang kami laporkan di awal bukanlah sebuah dugaan tanpa dasar, tapi juga merupakan behavior dari terlapor dalam kewenangan jabatannya dalam penanganan kasus korupsi,” kata Ronald.
Ronald meyakini pimpinan KPK saat ini akan mengusut tuntas laporannya. Terbukti, KPK di era Setyo Budiyanto mampu mengungkap kasus besar yang melibatkan orang besar di Indonesia.
Ronald menjelaskan, terkait pelaksanaan lelang Barang Rampasan Benda Sita Korupsi berupa 1 paket saham PT. Gunung Bara Utama (PT. GBU) milik terpidana kasus korupsi Jiwasraya, Heru Hidayat dilaksanakan Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejagung RI, dimenangkan PT. Indobara Utama Mandiri (PT. IUM), sebuah perusahaan yang didirikan tiga bulan sebelum lelang oleh Andrew Hidayat, mantan terpidana kasus korupsi suap.
Nilai keekonomian 1 paket saham PT. GBU sebesar Rp.12,5 Triliun itu dilelang hanya dengan nilai sebesar Rp.1,945 Triliun, melalui proses yang penuh rekayasa. Negara dimanipulasi seolah-olah pelaksanaan lelang tidak ada peminatnya, diduga sebagai modus untuk merendahkan nilai limit lelang (mark down), sehingga PT. IUM sebagai satu-satunya peserta lelang yang menyampaikan penawaran, yang mengakibatkan terjadi potensi kerugian negara sedikitnya sebesar Rp9,7 Triliun.
Agar mekanisme penetapan nilai limit lelang terkesan sesuai aturan, digunakan appraisal yang ternyata “fiktip” sebagaimana yang dikeluarkan oleh 2 (dua) Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), yakni KJPP Syarif Endang & Rekan dan KJPP Tri Santi & Rekan.
Jampidsus Febrie tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab dengan membangun dalih, bahwa lelang merupakan kewenangan PPA Kejagung RI. Sebab, Febrie sudah melakukan penyidikan kasus korupsi Jiwasraya secara mendalam sejak menjabat sebagai Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung.
Sehingga telah memahami nilai keekonomian tambang batubara PT. GBU sebenarnya berkisar lebih dari Rp.12 Triliun. KPK perlu mendalami dugaan adanya hubungan istimewa tertentu antara Jampidsus FA dengan pengusaha Andrew Hidayat dalam kasus ini, yang ujungnya terafiliasi dengan kelompok perusahaan Adaro milik Boy Tohir.
“Kasus korupsi lelang PT. GBU ini sudah pernah dilaporkan ke KPK. Diduga terkendala ijin Jaksa Agung untuk memeriksa Jampidsus Febrie Adriansyah,” paparnya.
Sembari Korupsi
Ronald mengatakan, Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi dalam buku yang memuat hasil penelitian dugaan korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah menyoroti pula dugaan kejahatan “memberantas korupsi sembari korupsi” yang baunya menyengat tajam dalam dalam kegiatan penyidikan “Mafia Kasus Satu Triliun”, yang melibatkan terdakwa Zarof Ricar, mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA RI RI.
Dalam Surat Dakwaan yang dibacakan JPU Nurachman Adikusumo di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat (10/2/2025), terdakwa Zarof Ricar tidak dikenakan pasal pidana suap, terkait barang bukti uang sebesar Rp.920 milyar dan 51 kilogram emas, yang disebut untuk pengurusan perkara di pengadilan tingkat pertama, banding,kasasi dan peninjauan kembali yang diterima dalam kurun waktu 2012 hingga 2022 atau saat pensiun.
Zarof Ricar hanya dikenakan pasal gratifikasi, sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Harusnya Zarof Ricar dikenakan pasal suap.

Karena diyakini terdapat meeting of minds antara pemberi dan Zarof Ricar selaku perantara penerima suap dalam kaitan dengan barang bukti yang diduga sebagai uang suap sebesar Rp.920 milyar dan 51 kilogram emas itu.
Dalam Surat Dakwaan, ternyata JPU tidak mengurai asal usul uang yang diduga suap sebesar Rp.920 milyar dan 51 kilogram emas, yang ditemukan jaksa penyidik pada saat menggeledah rumah kediaman Zarof Ricar di bilangan Jl. Senayan No. 8, Kel. Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Padahal saat penggeledahan ditemukan pula bukti catatan tertulis terkait uang yang disita tersebut.
Ronald menilai, tidak diuraikannya asal usul sumber uang suap sebesar Rp. 920 milyar dan 51 kilogram emas dalam surat dakwaan sangat mencurigakan. Pasalnya, sebagian sumber uang suap sebesar Rp.200 milyar itu diduga berasal dari penanganan perkara sengketa perdata antara SGC Dkk melawan MC Dkk, yang telah menyebabkan Hakim Agung Syamsul Maarif nekat melanggar Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Syamsul Maarif adalah hakim agung yang memutus perkara Peninjauan Kembali (PK) No. 1362 PK/PDT/2024, tanggal 16 Desember 2024 hanya dalam tempo 29 hari. Padahal tebal berkas perkara mencapai tiga meter.
Konon, Zarof Ricar sudah menyebut nama-nama hakim agung yang terlibat. Namun alih-alih mendalami, Jampidsus Febrie Adriansyah malah berdalih penyidik tidak harus memeriksa A apabila tersangka menyebutkan A, sebuah argumen yang tidak logis.
Lebih lanjut Ronald mengatakan, pada tanggal 18 Maret 2024, atas perintah Jampidsus Febrie Adriansyah, Direktur Penyidikan Kuntadi, SH menandatangani Surat Perintah Pennyelidikan Nomor: Prin-07/Fd.1/03/2024 dan Nomor: Prin-19A/F.2/Fd.1/04/2024 tanggal 02 April 2024, terkait dugaan tindak pidana korupsi Penyalahgunaan Kewenangan dalam Tata Kelola Pertambangan Batubara di Provinsi Kalimantan Timur, yang dalam perkembangannya kemudian telah ditingkatkan ke tahap penyidikan. Penanganan kasusnya berujung tak jelas, padahal penyidik sudah mememiliki lebih dari dua alat bukti.
Ronald mengungkapkan, pembuktian atas kasusnya sangat sederhana. Pada kurun waktu April 2023 hingga April 2024, Idris Sihite selaku Plh Dirjen Minerba, bersama-sama Sugianto alias Asun, Sanjai Gattani, seorang warga negara India, Rudolf warga negara Singapore (PT. RLK Development Indonesia – PT. Sukses Bara Mineral dan PT. Alur Jaya Indah), dan kawan-kawan diduga telah bermufakat jahat dan/atau bersekongkol melakukan kejahatan yang dikualifsir sebagai tindak pidana korupsi Penyalahgunaan Kewenangan dalam Tata Niaga Batubara dan/atau Manipulasi Kualitas Kalori Batubara guna memperkecil Kewajiban pembayaran PNBP dan/atau perdagangan batubara illegal dan dokumen RKAB yang notabene milik negara, total sebanyak 6.320.000.000 MT dengan melibatkan 5 perusahaan tambang batubara yang tidak aktif dan/atau sudah tidak layak lagi untuk ditambang.
“Terdapat kerugian negara diperkirakan sedikitnya sebesar Rp 1 Triliun,” jelasnya.
Melibatkan Pelaku
Sementara terkait dugaan TPPU yang dilakukan Febrie, Ketua IPW Sugeng Teguh Santosa mengatakan, modusnya dengan melibatkan pelaku kejahatan pencucian uang yakni dengan memakai jasa para profesional atau orang-orang terdekat yang dipercaya, yang diperankan sebagai gatekeeper.
Cara ini diduga digunakan untuk memutus nexus agar skema tampak sempurna. Oleh karena itu, pihaknya meminta KPK mendalami dugaan upaya penyembunyian atau penyamaran uang yang didapat hasil kejahatan penyalahgunaan kewenangan dan/atau tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan Jampidsus, Febrie Adriansyah dengan menggunakan sejumlah gatekeeper.
Para gatekeeper ini mendirikan PT. Kantor Omzet Indonesia bergerak dalam bidang kegiatan Penukaran Valuta Asing, Broker dan Dealer Valutas Asing. PT. Hutama Indo Tara bergerak dalam bidang Perdagangan Besar Atas Dasar Balas Jasa (Fee) dan Perdagangan Besar Bahan Bakar Padat Cair dan Gas dan Produk YBDI, dengan berlamat di Treasury Tower Lantai 03 Unit A-N Distric 8 Lot 28 SCBD Jalan Jenderal Sudirman, Kav. 52-53, Jakarta Selatan.
Terdapat di dalamnya nama Kheysan Farrandie, putera Febrie Adriansyah. PT. Declan Kulinari Nusantara, bergerak di bidang kuliner dengan membuka 3 restoran Prancis, salah satunya bernama Gontran Cherrier di Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan, yang menjadi tempat Jampidsus Febrie Adriansyah dikuntit Densus 88.
Selain itu mendirikan PT. Prima Niaga Intiselaras, PT. Aga Mitra Perkasa, PT. Sebambam Mega Energy, terdapat nama Agustinus Antonius, mantan Direktur Perencanaan dan Perkebunan Kelapa Sawit Kementerian Keuangan RI. Pada tanggal 1 April 2024, berdasarkan Akte Nomor 02 yang diterbitkan Notaris Delny Teoberto SH, M.Kn di Kota Bekasi, terjadi Perubahan pada PT. Hutama Indo Tara, dengan masuknya Aga Adrian Haitara, putera pertama Febrie Adriansyah yang merupakan Sales Brand Manager di PT. Pertamina Patra Niaga Cirebon, Jawa Barat, yang masuk ke dalam persero sebagai pemegang 200 lembar saham.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, menanggapi pelaporan dirinya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febrie menilai pelaporan terhadap dirinya itu sebagai bentuk perlawanan kepada dia yang saat ini tengah menangani perkara di Kejaksaan Agung.
“Semakin besar perkara yang sedang diungkap, pasti semakin besar serangan baliknya. Biasalah, pasti ada perlawanan,” kata Febri kepada awak media, Selasa (11/3/2025).
Sementara Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan tidak akan melindungi Jampidsus Febri Adriansyah jika benar melakukan tindak pidana penyalahgunaan kewenangan dan korupsi sebagaimana yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal tersebut disampaikan oleh Burhanuddin dalam On Point Adisty Larasati Youtube Kompas TV Podcast, Jumat (14/3/2025).
“Ya silakan aja sih hak seseorang untuk melaporkan dan bagi saya juga, kalau memang berbuat itu benar dia berbuat, ya kami juga nggak akan melindunginya kok,” kata Burhanuddin.
“Cuma biarkan kami bekerja dululah gitu, ya kalau mau melaporkan ya jangan terus diributin dulu supaya semangatnya tetap ada, gitu,” kata Burhanuddin.
“Jangan terus dilaporkan, dilaporkan, ya kalau benar, kalau tidak benar? Kalau saya tidak akan melindungi, siapa yang melakukan silakan. Tapi jangan kami lagi semangat-semangatnya, kita agak sedikit mengharapkan itulah kepada masyarakat,” ujanya.