BARANGKALI mereka yang beramai-ramai ikut memutuskan perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur (Kaltim) tidak akan menyesal –atau tepatnya tidak akan sempat menyesal– karena banyak diantara mereka sudah tidak lagi bisa menikmati hidup. Kecuali yang diberi umur 100 tahun atau lebih.
Anak-cucu merekalah kelak yang bakal merasakan dampak atau akibatnya; dampak dari keputusan kakek-moyangnya yang dilakukan dengan sangat terburu-buru dan tidak pernah mau mendengar suara sekelilingnya.
Banyak pertanyaan publik yang tidak pernah mereka (para pengambil kebijakan) mau dengar, apalagi menjawab atau menanggapi. Hanya ketika palu di Senayan diketokkan itulah yang menjadi acuan mereka untuk melegitimasi setiap tindakannya.
Pertanyaan sederhana yang tidak pernah mereka jawab dengan baik adalah, apakah begitu mendesak memindahkan Ibu Kota Negara ke Kaltim? Apalagi dalam situasi perekonomian domestik yang demikian sulit akibat dampak Covid.
Jutaan rakyat pontang-panting mengais makanan untuk sekadar bertahan dalam situasi pelik dampak Covid ternyata tidak menjadi prioritas bagi pengambil kebijakan untuk ditanggulangi.
Ada ribuan –atau ratusan ribu dan bahkan juta—pedagang kecil, UMKM rontok, pebisnis menengah bertumbangan, bukan menjadi alasan untuk menunda rencana ambisius itu.
Berbagai saran dan kritik dari para pakar, tokoh masyarakat dan berbagai elemen masyarakat hanyalah busa di tukang londri. Teriakan-teriakan rakyat hanyalah buih yang pasti lenyap ditelan pasir di pantai.
Seperti pepatah-petitih, “Biarkan anjing menggonggong, khafilah tetap berlalu”. Atau, “Biarkan khafilan menggonggong, anjing tetap berlalu”.
BANYAK orang mengatakan, Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri. Ibu Kota tidak pernah perduli apa dan siapa engkau, kalian. Apakah kalian akan berdiri di puncak Monas atau nyungsep di selokan, Ibu Kota tidak ada urusan.
Kalian bisa menjadi apa saja di Ibu Kota. Terserah! Mau jadi pebisnis silakan, jadi penjabat terserah, jadi penjahat urusan kalian. Atau kalian bisa jadi pebisnis merangkap penjabat sekaligus penjahat. Sak karepmu!
Jika Ibu Kota sudah dalam genggamanmu, engkau bisa melakukan apa saja. Malam bisa kaurubah jadi siang, langit bisa kauturunkan jadi lautan, hitam bisa kaubalik jadi putih, penjahat bisa tampil seperti agamawan, mafia berlagak kayak derwanan, dan sererusnya.
Dan bahkan, Ibu Kota pun bisa kaupindah atau kaulempar kemana saja sesuka hatimu, seperti angkau melempar buah durian ke kepala kawanmu!
Tapi, jika engkau tidak mampu menaklukkan Ibu Kota, jangan coba-coba bergaya. Engkau akan jadi sampah yang mungkin akan diangkut ke Bantargebang, atau jadi debu di jalanan yang dilindas dan disapu kendaraan para mafia yang merajai jalanan Ibu Kota. Dan bahkan, kawan karibmu pun tak kan pernah mengenalimu lagi.
Soal cerita kawan makan kawan di Ibu Kota bukanlah kisah luar biasa yang mengharukan, karena orang-orang yang berseberangan dan berlawanan bisa bersengkongkol untuk bagi-bagi hasil kejahatan!
Engkau tidak bisa melihat kawan karibmu atau bahkan saudaramu sedarahmu dengan mata telanjang; engkau harus menggunakan kacamata hitam atau kaca pembesar alias suryo kontho agar tidak tertipu dengan tampilan badan wadagnya.
Ibu Kota tidak akan melempar sebutir nasi atau setetes air ke tenggorokanmu. Engkau harus berpeluh untuk mengisi perutmu, atau mengemis, menjadi tukan copet, penjahat atau mafia.
Sekejam-kejamnya Ibu Tiri, kadang masih memberimu remah-remah makanan atau air kobokan agar engkau tidak mengadu kepada bapakmu. Ibu Tiri masih memberimu sedikit senyum (meski kecut), tapi tidak bagi Ibu Kota.
Ibu Kota juga tidak pernah peduli dengan anak-anak pribumi, warga asli yang terus terpinggirkan dari waktu ke waktu.
Penduduk asli yang mampu bertahan –itupun di daerah pinggiran—hanya beberapa gelintir saja. Mereka berkelompok seperti dalam sebuah aquarium, sebuah museum yang sesekali dilihat jika rasa kangen tiba-tiba menyeruak.
Itu hanya beberapa ongkos yang harus dibayar atas nama Ibu Kota. Engkau tidak bisa dan tidak boleh berharap belas kasihan, karena konsekuensi logis dari sebuah ‘pertarungan’.
JIKA Ibu Kota Negara dianalogikan sebuah rumah, ia adalah tempat untuk berteduh dan berlindung. Tapi sesungguhnya tempat berteduh dan berlindung adalah Sang Bapak, Sang Kepala Keluarga.
Anak-anak pun bertanya, apakah rumah lama itu banyak yang bocor, sudah reyot dimakan rayap dan nyaris ambruk hingga Sang Bapak, Sang Kepala Keluarga harus memaksakan diri mencari Ibu Muda?
Padahal, menurut anak-anak, rumah itu masih layak huni, kokoh, dan bagus. Kalaupun ada bocor di satu-dua tempat adalah wajar; dinding kusam bisa dicat, perkakas rumah masih bisa digunakan.
Saat ini yang menjadi persoalan krusial adalah urusan perut, kebutuhan dasariah yang mendesak untuk dipenuhi. Urusan tenggorokan dan perut saja masih rumit, kenapa harus memaksakan diri mencari Rumah Baru dengan ngutang pula!
Harusnya urusan tenggorokan dan perut anak-anak itulah yang harus menjadi prioritas, bukan rumah baru, Ibu Baru yang terlalu besar ongkosnya. Tidak saja secara material, ongkos sosial dan kultural jauh lebih mahal.
Secara material, ongkos nyaris Rp500 triliun yang seharusnya untuk urusan tenggorokan dan perut anak-anak mesti ditunda. Padahal, Sang Bapak tahu pasti bahwa urusan perut tidaklah bisa ditunda!
Anak-anak tidak akan kalap dan mati karena tidak punya Rumah Baru, Ibu Baru. Tapi mereka bisa kalap dan gila karena kelaparan.
Tapi tampaknya Sang Bapak keras kepala, mbegegek, mengguguk ngutho waton! Mungkin ia bangga dengan Ibu Muda meski anak-anaknya terlantar dan kelaparan.
Ongkos Ibu Muda tidak saja uang atau material, sosial dan kultural, tapi factor ekologi, menjadi pertaruhan yang tidak murah. Anak-anak yang dipaksa berpindah harus menyiapkan mentalnya, karena sejak lahir dan dewasa serta beranak-pinak di Ibu (Tua) Kota.
Di tempat baru mereka harus beradapsi dengan kultur masyarakat setempat dan hamper pasti akan terjadi kekagetan budaya, cultural shock. Begitu pula masyarakat lokal.
Saat ini, rakyat Indonesia laksana berlayar di atas buih. Kelak kita akan melihat, bagaimana kapal itu mengakhiri pelayarannya. Apakah ia akan berlabuh di dermaga ataukah kandas di tengah samudra.***