Penulis: Muhammad Edo | Editor: Hadi S Purwanto
SURABAYA, SWARAJOMBANG.com – Sudah dua tahun kasus pencabulan yang dilakukan tersangka MSA, salah seorang putra kiai di Jombang, Jawa Timur terhadap santriwati jalan di tempat alias berlarut.
Berlarutnya kasus ini lantaran MSA dnilai tidk kooperatif dan terus melakukan ‘perlawanan’ saat dipanggil dan hendak diperiksa oleh pihak kepolisian.
Tersangka MSA sendiri menyatakan bahwa dirinya adalah korban fitnah dan ia melakukan perlawanan saat dipanggil pihak kepolisian dengan melayangkan praperadilan kepada Kapolda Jawa Timur, meski pada akhirnya kandas juga.
Hal itu tidak menyurutkan tekad pihak MSA. Karenanya, pihak MSA mengajukan praperadilan ke Polres Jombang.
Usai sidang pertama di Pengadilan Negeri (PN) Jombang, Kamis (20/1/2022), kuasa hokum MSA, Deny Hariyatna mengatakan bahwa praperadilan yang dilakukan merupakan hak kliennya dan bukan perlawanan atau tindakan non-kooperatif.
“Pemohon (MSA) tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka. Sejauh ini pemeriksaan hanya mendengar dari pihak sebelah,” tutur Deny.
Deny mengatakan, sejak awal proses kasus ini sudah tidak obyektif dan hanya mendengar satu pihak saja.
“Kami memperkirakaran (kasus ini) kurang bukti. Meskipun sudah P-21, tapi berat nanti jaksa mengajukan perkara ini,” ujarnya.
Berlatar Relasi Kuasa
Ana Abdillah dari Women’s Crisis Center (WCC) Jombang kepada SWARAJOMBANG.com, Kamis (20/1/2022) mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati yang menjerat MSA sebagai tersangka berdasarkan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) dari Polda Jatim tertanggal 11 Januari 2022 menginformasikan bahwa hasil penyidikan dinyatakan lengkap (P-21), sesuai surat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Nomor: B-32/M.5.4/Eku.1/2022.
“Butuh waktu dua tahun lebih bagi penyidik menuntaskan penyidikan sejak beredar surat pemberitahuan dimulainya penyidikan terhadap tersangka pada 12 November 2019,” kata Ana.
Kekerasan seksual ini, katanya, berlatar belakang relasi kuasa, mengingat pelaku merupakan anak pemilik dan pengasuh pondok pesantren dimana para korban adalah anak-didiknya serta pemilik pusat kesehatan yang sedang melakukan rekruitmen tenaga kesehatan dengan mencari calon pelamar santri/santriwati dari pondok pesantren tempat para korban mondok.
Pelaku memanfaatkan kepercayaan para korban kepadanya serta kekuasaannya atas korban untuk melakukan perkosaan dan pencabulan.
Demikian pula fakta perkosaan dan pencabulan dilakukan dibawah ancaman kekerasan, ancaman tidak lolos seleksi, manipulasi adanya perkawinan, dan penyalahgunaan kepatuhan murid terhadap gurunya,” papar Ana.
Faktanya, para santriwati yang telah menjadi korban dan berani melapor pun telah dikeluarkan dari pondok pesantren.
Lebih jauh Ana menjelaskan, sejak kasus ditangani Polres Jombang dan diambil alih Polda Jawa Timur pada 15 Januari 2020, penyelesaian proses hukum tersangka MSA tidak bisa dilepaskan dari fakta lemahnya mekanisme koordinasi antar Institusi aparat penegak hukum.
Mulai dari persoalan bolak-balik perkara (P-19) serta fakta prosedur pembuktian yang terkesan mereviktimiasi korban, bahkan dinilai menyalahi prosesdur hukum acara pidana.
Sementara tidak ada langkah konkrit untuk segera melakukan penahanan terhadap tersangka setelah upaya gagal jemput paksa pada Sabtu, 15 Februari 2020 yang secara langsung dikonfirmasi Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Timur Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko saat itu yang mengatakan: “Gagalnya penjemputan anak kiai di Jombang ini lantaran ada penghadangan dari pihak pondok pesantren”
Kriminalisasi
Sementara, sebagai dampak lambannya proses hukum tersangka MSA membawa potensi kriminalisasi yang diterima korban, saksi maupun pendamping. Salah satunya kasus pencurian dengan kekerasan dan/atau penganiayaan (Pasal 365 atau Pasal 351 KUHP) yang dialami SMA (Salah satu saksi dalam kasus kekerasan seksual yang menjerat MSA) yang terjadi pada 9 Mei 2021 dan 8 Desember 2021 pelaku penganiayaan (Z) yang notabene adalah pengikut MSA.
Kegagalan polda Jatim untuk melakukan penahanan tersangka membuat publik terus menagih kinerja profesional kepolisian.
Karena berbagai upaya yang dilakukan pihak kepolisian belum membuahkan hasil, akhirnya Polda Jatim menerbitkan surat daftar pencarian orang (DPO) kepada MSA, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencabulan terhadap santriwatinya.
“Kami akan melakukan upaya paksa terhadap MSA karena beberapa kali mangkir dari upaya pemanggilan polisi,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jatim Kombes Polisi Totok Suharyanto di Surabaya, Jumat pekan lalu.
Totok menegaskan secara fakta yuridis perkara dugaan pencabulan santriwati dengan tersangka MSA sudah dinyatakan P21 alias berkas lengkap oleh kejaksaan pada 4 Januari 2022.
“Secara fakta yuridis, perkara itu sudah P21 pada 4 Januari lalu. Sehingga kita berkewajiban untuk menyerahkan tersangka dan barang buktinya kepada kejaksaan,” ujarnya.
Polisi sudah melayangkan panggilan pertama dan kedua kepada MSA yang menjadi tersangka pencabulan santriwati. Namun MSA melalui kuasa hukumnya menyatakan tidak datang dengan alasan sakit dan meminta waktu hingga 10 Januari.
“Setelah kita tunggu, ternyata yang bersangkutan juga tidak hadir. Kali ini tanpa alasan,” ucapnya.
Selanjutnya, pada Kamis (13/1), penyidik mendatangi kediaman tersangka MSA di sebuah pondok pesantren di Jombang. Namun, kedatangan penyidik ini sempat mendapatkan penolakan dengan alasan MSA sedang tidak berada di tempat.
“Kemarin penyidik memang menjalankan surat perintah untuk membawa MSA karena tidak berada ditempat menurut penjaga di situ. Kemudian kita sudah menerbitkan DPO untuk proses selanjutnya, kita akan laksanakan upaya paksa,” jelasnya.
Totok berharap tersangka MSA bersikap kooperatif dengan pihak kepolisian untuk menghindari upaya paksa.(*)