Penulis : Jayadi | Editor : Aditya Prayoga
JAKARTA-SWARAJOMBANG.COM: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) di 70.000 desa untuk memperkuat ekonomi desa serta mengatasi berbagai persoalan pedesaan.
Keberadaan Kopdes Merah Putih diyakini dapat membantu masyarakat lepas dari jeratan pinjaman online (pinjol), rentenir, dan tengkulak. “Rentenir, tengkulak, dan pinjaman online ini menjadi sumber kemiskinan di desa. Karena koperasi desa adalah salah satu unit koperasi simpan pinjam, masyarakat akan terbantu dari sisi pendanaan dan tidak terjerat lingkaran setan itu,” kata Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie dalam keterangannya, Jumat (7/3/2025).
Namun, program ini membutuhkan anggaran besar. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memperkirakan setidaknya diperlukan Rp5 miliar per koperasi. “Kalau saya enggak salah, dibutuhkan sekitar Rp5 miliar [per Kopdes],” ujar Tito, mengutip YouTube Sekretariat Presiden, Senin (10/3/2025).
Baca Juga: Letkol Teddy Tak Perlu Mundur dari TNI, Prabowo Telah Membuat Aturan Khusus Seskab
Baca Juga: Uji Sampel 2.457 SPBU, Penjualan Pertamax Tetap Anjlok
Kritik terhadap Nama dan Konsep Koperasi
Rencana ini menuai kritik, terutama dari Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin). Mereka menilai sistem sentralisasi yang diterapkan Kopdes Merah Putih justru dapat menghambat perkembangan koperasi yang berbasis kekeluargaan dan kearifan lokal.
Ketua Umum Dekopin, Jimly Asshiddiqie, menyoroti penamaan “Merah Putih” yang dinilai terlalu politis. “Merah putih itu kan terlalu politis. Lagi pula kalau dia koperasi desa, itu sekaligus di daerah-daerah yang masih ada KUD itu bisa direvitalisasi,” ujarnya, Rabu (12/3).
Baca juga: Kapolres Ngada NTT Diduga Bikin Video Porno, Korban di Bawah Umur Bisa Lebih dari Tiga
Menurutnya, penggunaan nama tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman dan bahkan berpotensi memicu perpecahan. “Jadi sebaiknya tidak usah pakai merek (Merah Putih). Nanti itu disalahpahami dan bahkan bisa menimbulkan perpecahan,” tambahnya.
Selain itu, Jimly menilai penggunaan nama “Merah Putih” mencerminkan pemusatan dan penyeragaman usaha. Padahal, setiap daerah memiliki koperasi dengan karakteristik dan jenis usaha yang khas. Keseragaman yang dipaksakan dikhawatirkan justru akan membatasi potensi koperasi di daerah.
BUMDes dan KUD Dinilai Lebih Prioritas
Wakil Ketua Umum Dekopin, Agung Sudjatmoko, menyarankan agar pemerintah memperkuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Koperasi Unit Desa (KUD) yang telah ada, daripada membentuk koperasi baru.
Ia mengkritik pendekatan yang hanya berfokus pada jumlah koperasi, tanpa memperhatikan peningkatan kualitasnya. “Jadi ini hanya pendekatan sentralistik kuantitatif, tidak pada penguatan organisasi koperasi sebagai akumulasi dari sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Ini yang mesti harus dilihat,” kata Agung.
Menurutnya, pembentukan Kopdes Merah Putih belum tentu mendorong pertumbuhan koperasi secara keseluruhan. Yang lebih dibutuhkan adalah keterlibatan koperasi dalam skala ekonomi yang lebih besar. Salah satu caranya adalah dengan membuat klasterisasi usaha koperasi sesuai kebutuhan dan potensi tiap wilayah. “Koperasi yang terjadi harusnya jangan koperasi teritorial. Koperasi akan menjadi satu kekuatan besar kalau pendekatannya menggunakan pendekatan basis usaha,” tuturnya.
Kesimpulan: Peluang dan Tantangan
Koperasi Desa Merah Putih menawarkan harapan untuk meningkatkan perekonomian desa dan memutus rantai ketergantungan pada rentenir dan tengkulak. Namun, rencana ini juga menghadapi tantangan besar, mulai dari anggaran jumbo, potensi tumpang tindih dengan BUMDes, hingga kritik terhadap sistem sentralisasi dan penamaan koperasi.
Diperlukan kajian lebih dalam agar program ini benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat desa, tanpa mengorbankan koperasi yang sudah berjalan atau menimbulkan masalah baru dalam pengelolaan ekonomi desa.***