Penulis: Hadi S. Purwanto | Editor: Priyo Suwarno
JAKARTA, SWARAJOMBANG.COM– Departemen Keuangan menganggarkan pembangunan sistem perpajakan digital nasional bernama Coretax Rp 1,39 triliun. Pemenang tender pengadaan System Integrator Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) adalah LG CNS-Qualysoft Consortium. LG CNS sendiri anak usaha dari LG Group, perusahaan asal Korea Selatan, dengan nilai total Rp1,22 triliun (termasuk PPN).
PT Pricewaterhousecoopers Consulting Indonesia berperan sebagai Agen Pengadaan, sekaligus disebut sebagai pihak yang terlibat sebagai konsultan.
Selain itu pemerintah juga membayar kepada PT Deloitte Consulting untuk memastikan keberhasilan implementasi Coretax, dengan nilai kontrak sebesar Rp 110,30 miliar (termasuk PPN). Namun aplikasi digtal ini sudah empat bulan mengalami gangguan dan macet.
Aplikasi Coretax mulai diimplementasikan tanggal 1 Januari 2025. Sebelumnya, telah dilaksanakan praimplementasi mulai 16 Desember 2024 hingga 31 Desember 2024 demikian mengutip situs pajak.co.id.
Bagaimana reaksi Menteri Keuangan Sri Mulyani ada kejadian itu? Hari Selasa 11 Februari 2025, Sri Mulyani mengakui bahwa sistem Coretax belum sempurna dan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan saat berpidato di hadapan investor dalam acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2025 di Jakarta.
“Ia menyatakan bahwa membangun sistem serumit Coretax dengan lebih dari 8 miliar transaksi bukanlah hal yang mudah, tetapi kita akan terus berusaha melakukan perbaikan ke depannya,” kata Sri Mulyani seperti dilansir ekonomi.bisnis.com.
Namun sebelumnya, Sir Mulyani sudah menyampaikan permintaan maaf ini disampaikan melalui akun Instagram resminya pada Kamis, 23 Januari 2025. Hal itu dilakukan karena efek dari kemacetan aplikasi ini sangat besar, bahkan bisa mengancam perpajakan dalam APBN.
Akibat kemacetan aplikasi Coretax, sejumlah wajib pajak mengalami kesulitan dan menyampaikan keluhan, antara lain:
- Kesulitan Akses: Wajib pajak mengeluhkan lambatnya akses ke aplikasi, dengan proses login yang memakan waktu lama.
- Gangguan Fitur: Beberapa fitur, seperti pelaporan SPT dan pembayaran pajak, sering mengalami kegagalan atau waktu muat yang terlalu lama.
- Keterlambatan Transaksi: Banyak pengguna mengalami keterlambatan transaksi.
- Potensi Kerugian Finansial: Wajib pajak khawatir akan potensi kerugian finansial akibat gangguan sistem.
- Kendala bagi Konsultan Pajak: Konsultan pajak mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas mendampingi wajib pajak karena kendala teknis penggunaan Coretax.
- Terhambatnya Pemenuhan Kewajiban: Terhambatnya proses pemenuhan kewajiban perpajakan menimbulkan risiko pengenaan sanksi bagi wajib pajak.
- Gangguan Aktivitas Usaha: Kendala sistem juga mengganggu aktivitas usaha.
- Potensi Penurunan Kepercayaan: IKPI menilai bahwa tanpa dukungan sistem yang andal, kepercayaan wajib pajak bisa menurun.
- Kemungkinan Penerimaan Pajak Terhambat: Gangguan Coretax dikhawatirkan dapat menghambat atau menunda penerimaan pajak, meskipun DJP menegaskan tidak akan ada sanksi administrasi apabila terjadi keterlambatan pembuatan faktur pajak dan pelaporan pajak di masa transisi.
- Pembuatan Faktur Pajak Terhambat: Wajib pajak merasa kesulitan membuat faktur pajak. Sebagai solusi, pembuatan faktur pajak dikembalikan ke aplikasi e-Faktur untuk PKP tertentu.
Sejak 1 Januari 2025, para wajib pajak mulai mengeluh bahwa kesulitan mengakses Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) pada 1 Januari 2025.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyatakan bahwa Coretax tetap berjalan, tetapi sistem yang lama juga akan dibuka kembali untuk layanan tertentu.
Untuk tahun pajak 2024 dan sebelumnya, pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi dan Badan masih menggunakan sistem lama. Namun, untuk SPT 2025 yang akan disampaikan pada 2026, termasuk pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baru dan PPh karyawan, akan menggunakan Coretax.
Suryo Utomo juga menanggapi soal ancaman penerimaan negara yang berpotensi anjlok akibat gangguan sistem Coretax. Namun, ia menyatakan bahwa pihaknya belum bisa menghitung dampak implementasi Coretax terhadap penerimaan negara.Sebagai jalan tengah, diputuskan bahwa dua sistem akan berjalan bersamaan, yaitu sistem lama dan Coretax.
Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, mengatakan bahwa implementasi Coretax dilakukan secara paralel dengan beberapa fitur legacy sebelum implementasi.
Ini mencakup layanan seperti pelaporan SPT Tahunan sebelum tahun pajak 2025 menggunakan e-Filing melalui laman Pajak.go.id, dan penggunaan aplikasi e-Faktur Desktop bagi wajib pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Aplikasi pajak digital Coretax adalah sistem yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai bagian dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP).
Sistem ini dirancang untuk mempermudah dan meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan di Indonesia. .Coretax memungkinkan wajib pajak untuk mengelola kewajiban perpajakan secara digital, mulai dari pembuatan faktur pajak, pembayaran, hingga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT).
Sistem ini juga menyediakan akses ke berbagai layanan perpajakan seperti DJP Online, e-Faktur, e-Nofa, e-Bupot, e-Filing, dan e-Registration melalui satu platform terpadu. Fitur-fitur utama Coretax meliputi:
Implementasi Coretax diharapkan dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih modern, efisien, dan ramah pengguna. Wajib pajak yang sudah memiliki NPWP dan terdaftar di DJP Online dapat menggunakan sistem ini. Untuk aktivasi, wajib pajak dapat mengunjungi situs resmi Coretax dan mengikuti langkah-langkah yang disediakan, seperti memperbarui kata sandi dan passphrase. **