Laporan: Gandhi Wasono M
KREDONEWS.COM, KATINGAN- KAWASAN hutan tropis yang menjadi bagian paru-paru dunia ini sempat mengalami kerusakan hebat akibat illegal logging masif yang berlangsung cukup lama. Tapi setelah ditetapkan sebagai taman nasional dan dilakukan penataan sekaligus proses reboisasi yang tepat saat ini kondisi hutan seluas 533.000 hektare sudah kembali seperti sediakala, termasuk keragaman hayati yang ada di dalamnya juga ikut terjaga.
Berikut catatan jurnalis kredonews.com, Gandhi Wasono, yang selama dua pekan berada di kawasan hutan ikut menjadi bagian proyek peningkatan kapasitas masyarakat desa penyangga kerjasama antara Taman Nasional Sebangau dan Borneo Nature Foundation (BNF).
Siang jelang sore perahu kelotok yang dinakhodai Jeki berjalan perlahan meninggalkan Talali, Punggualas, sebuah tempat penginapan yang berada diatas sungai gambut masuk kawasan Desa Karuing menuju ke tengah hutan taman nasional.
Makin ke dalam hutan nuansa sunyi makin terasa. Yang terdengar hanya suara mesin kelotok, belalang serta kicau burung yang hinggap diantara dahan-dahan besar yang ada di kanan kiri sungai selebar kurang dari 3 meter.
Pada batang pohon yang tumbuh di tepi sungai yang berkelok-kelok dengan airnya berwarna cokelat karena gambut menempel berbagai jenis tumbuhan mulai jamur, lumut, tanaman tanduk rusa, anggrek hutan dengan bunga berwarna-warni, juga bunga kantong semar, bunga carnivora cantik yang kelopaknya membentuk kantong sebagai jebakan serangga.
Di sepanjang sungai itu pula tumbuh berbagai tanaman keras, mulai blangeran, meranti, kruing, juga bajaka, pohon yang akarnya banyak dicari orang karena diyakini bisa mengobati sakit kanker. Namun sambil duduk diatas perahu mata juga harus awas karena terkadang ada ular phyton atau ular hijau melilit di batang pohon dengan warnanya tersamar dengan daun atau ranting. Sisi kanan kiri juga banyak terdapat anak sungai dengan papan penunjuk dimana lokasi tempat pengamatan orang utan biasa dilakukan.
Suasana di dalam TN. Sebangau yang begitu eksotis mengingatkan film petualangan Anaconda 2 yang berjudul The Hunt of Blood Orchid yang dirilis tahun 2004. Film besutan sutradara Dwilight H. Little memang syutingnya mengambil tempat di Taman Nasional Sebangau.
Film petualangan yang dibalut dengan kisah horor yang dibintangi oleh Johnny Mesner, KaDdee Strickland dan Eugene Byrd, berkisah tentang sekelompok ilmuwan yang menjelajah hutan Kalimantan untuk mencari anggrek darah untuk kepentingan riset ilmu pengetahuan.
Namun, saat melakukan pencarian bunga anggrek misterius para kelompok ilmuwan yang melintas sungai bertemu dengan anaconda atau seekor ular raksasa yang sangat ganas. Meski film tersebut fiksi, karena di Kalimantan tidak ada ular anaconda, tetapi tetap saja menarik dan mendebarkan.
Setelah perahu berjalan berkelok-kelok sejauh sekitar 6 km sampailah pada satu titik dimana tempat tersebut orang menyebut dengan sebutan danau. Jika danau pada umumnya bagian bibirnya adalah daratan tetapi danau di dalam TN. Sebangau ini sebuah hamparan air dengan bentuk melingkar luasnya lebih kecil dari lapangan bola dan di tepian tumbuh pohon besar berjejer dengan pangkalnya terendam air melingakari tepian danau.
Suasana danau sangat teduh. Begitu jernih dan tenangnya permukaannya bagai kaca. Bayangan langit cerah dengan awan berarak-arak indah jelang senja terlihat dari atasnya. “Kalau dikatakan danau juga tidak salah, sebab dibawah ini lebih dalam daripada sungai yang kita lintasi tadi,” kata Jeki yang juga pemandu wisatawan tersebut. (**)