Oleh Anwar Hudijono
Pada tahun 1970-an ada istilah popular yaitu Mutiara Hitam. Istilah itu ditujukan untuk pemain-pemain bola asal Irian Jaya (kini Papua) seperti Johanis Auri, Timo Kapisa, Roby Binur, Panus Korwa, Yakobus Mobilala, Tinus Heipon.
Mutiara Hitam terus cemerlang dengan tumbuhnya maestro – maestro baru seperti Adolof Kabo, Mecky Tata, Leo Kapisa, Dominggus Nowenik, sampai generasi Boas Salossa.
Namun semakin lama pamor Mutiara Hitam bergeser menjadi Mutiara Kelam karena Papua dikaitkan dengan kemiskinan, keterbelakangan, pergolakan sosial, separatisme. Papua seolah duri dalam daging Indonesia.
Perspektif politik lebih mendominasi dalam melihat Papua. Ternyata perspektif ini justru semakin mengelamkan sang mutiara. Konflik bersenjata kian seru. Dana otsus konon dibuat bancaan yang penting Papua diam. Puncaknya adalah ketika manusia Papua seolah terlewatkan dalam pembicaraan, wacana soal Papua.
Adalah sangat menyentak ketika Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK)
menggelar seminar nasional Menuju Papua Maju di Aula Heritage, Rabu (18/10/2023). Seminar ini seolah kentongan untuk membangunkan yang tidur lelap, menggedor kepala batu, mengguncang yang terlena.
Muaranya mengajak semua pihak untuk menyelam ke taman laut melihat kembali eksistensi mutiara hitam manusia Papua.
Dan semua tercengang. Terhenyak. Terpesona. Ternyata terdapat selaksa mutiara hitam yang belum diasah agar kemilau. Bukan hanya mutiara hitam bola.Yaitu kaum muda yang potensial di pelbagai bidang kehidupan.
Tak urung Menko PMK Muhadjir Effendy pun menunujukkan potensi anak muda Papua harus diberdayakan, banyak sebetulnya anak-anak cerdas yang bisa diberdayakan oleh pemerintah daerah, mereka harus dilibatkan. Pokoknya harus putra Papua, dan kualitasnya tak harus seperti di daerah lain. Ya misal anak SMA tambah pendidikan setahun, cukuplah untuk mengajar SD. Lebih baik banyak guru, daripada nunggu lulusan S1,” ujar Muhadjir.
Dengan demikian, pemberdayaan generasi muda Papua ini diyakini dapat menjadi penggerak pembangunan untuk kemajuan Papua. Apalagi terdapat banyak putra daerah Papua lulusan perguruan tinggi ternama di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk terlibat aktif dalam pembangunan wilayah tersebut.
Apa yang disampaikan Muhadjir sepenuhnya benar. Dengan menyerahkan pembangunan Papua kepada mereka, bukan sekadar melibatkan dalam makna pelengkap penyerta, mereka akan memililki sense of belongingness yang kuat terhadap Papua sekaligus Indonesia. Kaidah dasar yang harus ditanamkan kepada kaum muda Papua bahwa mereka adalah anak kandung Indonesia. Bukan anak tiri apalagi anak haram.
Sebaliknya membiarkan mereka sebagai penonton gegap gempita pembangunan Papua sama saja mencabut nadi mereka dari anatomi tubuh sendiri.
Ke depan kita akan saksikan kemilau mutiara-mutiara Papua di semua sektor kehidupan. Bukan hanya kemilau di tanah sendiri melainkan di seluruh dunia.***
Anwar Hudijono