Penulis: Anwar Hudijono | Editor: Hadi S Purwanto
SURABAYA, SWARAJOMBANG.com – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengapresiasi Kabupaten Tulungagung karena berhasil menekan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen.
“Ini sangat bagus dan seharusnya menjadi percontohan untuk penurunan kemiskinan ekstrem di seluruh wilayah,” ujarnya dalam acara roadshow Percepatan Penurunan Stunting dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur pada Rabu, (01/03/23).
Roadshow diikuti oleh Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani Azwar Anas, Wakil Bupati Bondowoso Irwan Bachtiar Rachmat, Bupati Jember Hendy Siswanto, Bupati Situbondo Karna Suswandi, Bupati Lamongan Yuhronur Efendi, Bupati Ngawi Ony Anwar Harsono, Bupati Tulungagung Maryoto Birowo, Pemerintahan Kota Batu, dan perwakilan Kementerian Kesehatan, Kementerian PUPR, Kemendes PDTT, Kemendagri, Bappenas, serta sekitar 500 kades se-Jatim.
Bupati Tulungagung Maryoto Birowo mengungkapkan sejak tahun 2022 kemiskinan ekstrem di Tulungagung sudah mencapai nol persen. Upaya yang dilakukan untuk mencapai target penurunan angka kemiskinan ekstrem melalui penetapan langkah jangka pendek dan pemanfaatan teknologi informasi.
“Langkah-langkah yang kami lakukan yang pertama melaksanakan kebijakan jangka pendek yang disiapkan pada triwulan pertama, yang terdiri dari 3 prioritas yaitu mencegah guncangan ekonomi melalui pengendalian pandemi Covid 19, distribusi jaminan sosial yang tepat waktu serta pergerakan ekonomi lokal, ” ujar Maryoto.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak mengatakan bahwa ada sekitar 21 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur mengalami penurunan tajam di atas 18,4 persen. Adapun tingkat kemiskinan ekstrem mengalami penurunan sebesar 2,59 persen.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2022, angka stunting di Provinsi Jawa Timur yaitu 19,2 persen. Target nasional 2024, stunting turun ke angka 14 persen.
Emil Dardak mengatakan, masih terdapat 3 kabupaten/kota yang memiliki angka prevalensi stunting di atas 30 persen. Salah satu kabupaten yang memiliki prevalensi stunting tinggi yaitu Kabupaten Jember, sebesar 34,9 persen. Kondisi itu disebabkan masih belum adanya pemahaman yang sama antar pemangku kepentingan serta kurangnya ketersediaan alat kesehatan serta terbatasnya keterampilan kader dalam komunikasi dan teknis pengukuran.
Sama halnya dengan Kabupaten Bondowoso, prevalensi stuntingnya sebesar 32 persen. Tingginya angka stunting di wilayah ini dikarenakan adanya ketidakcocokkan antara data dengan jumlah balita di Kabupaten Bondowoso.
Kedua daerah yang masih memiliki masalah stunting tinggi ini diantaranya karena alat USG dan Antropometri yang belum merata di Puskesmas dan Posyandu. Kemudian juga masalah tenaga kesehatan dan kader yang menangani pengukuran belum mencukupi.
Ia juga menyatakan bahwa kondisi stunting di Provinsi Jawa Timur disebabkan multi faktor, seperti masalah kesehatan ibu, bayi, remaja, dan juga masih adanya perkawinan anak. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk melakukan pencegahan seperti sosialisasi yang dilakukan oleh PKK serta intervensi dini kepada remaja putri dengan peningkatan gizi. “Tentu hal ini, kata Emil, menjadi perhatian utama,” katanya.
Muhadjir menegaskan, Provinsi Jawa Timur menjadi perhatian utama pemerintah dalam penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem karena populasinya sangat besar.
“Jadi walaupun prevalensi (prosentase) stuntingnya tidak besar, tetapi karena populasinya besar, maka efek agregatnya akan sangat besar untuk tingkat nasional. Karena itu Jawa Timur memang menjadi perhatian utama kita,” ungkapnya.
Dia meminta agar didata kekurangan alat antropometri dan USG. Jadi untuk tiap Puskesmas harus ada 1 USG. Kalau masih ada Kabupaten/Kota yang puskesmasnya belum ada USG segera mengajukan ke Kemenkes. Begitu juga antropometri di tiap posyandu harus ada satu. Kemudian juga tenaga, pelatihan tenaga kader harus juga dilakukan.