Disarikan Oleh Khristina Kencana
ALIH-ALIH shaman kecil menjawab pertanyaan Pangeran Yang Myung, ia malah berkata dengan lirih, “Aku lapar…”
Pendamping pria di dekat shaman kecil itu kaget dan mulai mencubit pahanya. Entah apa yang terjadi jika orang-orang yang berkerumun itu mendengar gerutuan shaman kecil yang sedang kelaparan.
Lalu, ia mengalihkan perhatian Pangerang Yang Myung dengan berkata, “Untuk luka kakimu, kau akan sembuh dengan empat batu.”
Tiba-tiba Pangeran Yang Myung berdiri dan berkata dengan suara lantang menatap pria pendamping itu, “Walaupun tubuhnya kecil, tapi ada perut. Ada suara halus yang datang dari usus. Bisa dikatakan ada masalah lambung, atau asam lambung yang berlebihan dan kekurangan darah”.
Shaman Jang kaget memperhatikan tindakan Pangeran Yang Myung. Ia takut akan terjadi sesuatu.
Kemudian Pangerang Yang Myung melanjutkan lagi, “Kataku, dia kelelahan karena kelaparan. Kau mau dipukul dengan misterius nomor dua?”
Lalu dengan gerakan cepat Pangeran Yang Myung mendekati shaman kecil itu dan menyingkap kerah bajunya, ada memar di leher.
Ia menyingkap lengan bajunya, ada memar-memar dan bekas luka di tangannya juga. Matanya melotot menelisik memar dan bekas luka shaman kecil itu.
Pangeran Yang Myung langsung menanyakan pada pria pendamping shaman kecil itu, mengapa dia punya begitu banyak bekas luka. Pria itu menjawab dengan panik kalau dia mudah memar.
Orang-orang yang lagi ngantri mendengar jawaban pria pendamping shaman kecil itu mulai kasak-kusuk. Suara gemeremang dan saling pandang diantara mereka.
Ada yang bertanya, “Apakah dia menipu uang kita?”.
Yang lain menjawab, “Kupikir begitu”.
Dan yang lain lagi mengatakan, “Mereka penipu”.
Lebih lanjut, Pangeran Yang Myung meminta shaman kecil itu membuka matanya. Ia mulai membuka matanya sedikit dan melirik Pangeran Yang Myung.
Pangeran Yang Myung mengeluarkan makanan dan mata shaman kecil itu langsung terbuka lebar.
Ia langsung merebut kue dari tangan Pangeran Yang Myung dan melahapnya dengan cepat. Terbukti shaman kecil itu tidak buta dan ia sangat kelaparan.
Pria di sampingnya tetap memukuli kepala anak itu karena ia telah membuka kedok kebohongan mereka.
Ia hanya mengatakan sambil menangis, “Aku lapar!”
Orang-orang mulai sadar telah ditipu dan berteriak pada pria pendamping shaman kecil, “Penipu ini!”
Mereka berusaha bergerak maju ke depan ke arah pria pendamping shaman kecil, walaupun dicegat beberapa penjaga.
Pria pendamping itu segera melemparkan kotak uangnya ke tanah mengalihkan perhatian orang banyak dan ia lari menghindari kerumunan itu.
Shaman Jang berdiri terpaku melihat kehebohan yang tiba-tiba terjadi. Pangeran Yang Myung memperhatikan shaman kecil yang terpana melihat orang banyak berebut mengambil uang di tanah.
Tidak ada lagi yang memperhatikan dan menjaga shaman kecil, yang baru saja terbebas dari rasa lapar.
Pangeran Yang Myung segera mengangkat anak kecil itu dan menggendongnya keluar. Di ambang pintu, ia minta bantuan Shaman Jang untuk memanggil penjaga keamanan.
Pangeran Yang Myung menggendong anak kecil itu berlari cepat hendak mencari dokter.
Namun anak kecil itu mengatakan, “Kau lari terlalu cepat, Paman. Kepalaku menjadi pusing.”
“Itu karena kau terlalu lapar. Tahanlah sebentar, aku akan membawamu ke dokter,” jawab Pangeran Yang Myung sambil tetap berlari.
Namun tiba-tiba Pangeran Yang Myung telah terkejar dan dikepung oleh komplotan penipu yang menggunakan shaman kecil itu.
Salah seorang dari komplotan itu berhasil mengambil kembali shama kecil dari gendongan Pangeran Yang Myung dan segera membawanya pergi tanpa sempat dicegat oleh Yang Myung.
Shaman kecil berteriakteriak sambil terus menangis sepanjang jalan bahwa ia tidak mau dipukul.
Beruntung mereka berpapasan dengan Shaman Jang di jalan yang biasa mereka lewati. Shaman Jang menghadang dan meminta agar ia melepaskan anak itu sekarang.
Orang itu hendak melawan Shaman Jang, tapi melihat para penjaga keamanan berlari menuju arahnya, ia segera menurunkan anak kecil itu di depan Shaman Jang dan mengambil langkah seribu. Ia tetap dikejar penjaga keamanan.
Sementara itu, Pangeran Yang Myung mencoba bernegosiasi dengan komplotan penipu itu untuk melepaskan shaman kecil.
Ia akan memberikan rumah yang baik untuk anak itu. Namun Pangeran Yang Myung dipukuli komplotan penipu yang marah padanya karena lantaran Yang Myung mereka kehilangan pendapatan dan tempat mencari nafkah.
Awalnya Pangeran Yang Myung tidak berusaha membalas pukulan mereka. Ia malah menghadapi mereka dengan santai dan berkata kalau guru beladirinya adalah sarjana militer terbaik.
Mereka menertawakan Yang Myung dan malah berbalik mengejeknya dan memukulnya hingga jatuh terkapar.
“Kalau guru beladirimu adalah sarjana terbaik, maka ayahku adalah raja, keparat!”.
Pangeran Yang Myung menghela nafas panjang dan bangkit berdiri sambil menyeka sudut bibirnya yang berdarah.
Ia berkata dengan marah, “Aku kenal Baginda Raja. Katanya dia tak punya anak sepertimu!”.
Akhirnya, ia melawan komplotan penipu itu dengan mengeluarkan keahlian jurus bela dirinya yang mengagumkan dan menumbangkan mereka satu-persatu.
MALAM itu saat bulan purnama bersinar terang Pangeran Yang Myung kembali berpakaian bangsawan.
Ia berdiri di luar istana, dengan raut wajah sedih ia mengucapkan salam hormat pada Yang Mulia dan memberikan kabar bahwa dia telah kembali dengan selamat dari perjalanan liburan.
Ia mohon maaf karena hanya bisa memberikan penghormatan dari luar istana. Ia pun memikirkan apakah kabar Putra Mahkota baik-baik saja selama ini.
Sebaliknya, di dalam istana Putera Mahkota Hwon berdiri memandang ke langit dengan raut wajah sedih.
Ia beserta rombongan pengawal dan pelayan kasim yang menjaganya dan mengikutinya kemana pun ia melangkah dalam jarak yang dekat. Hwon menoleh dengan kesal pada mereka.
Ia mengatakan, “Aku tidak akan melarikan diri, jadi jaga batasanmu”.
Malam itu angin bertiup menerbangkan kelopak-kelopak bunga. Putera Mahkota Hwon jadi teringat kejadian siang itu, dimana saat ia terjatuh bersama Yeon Woo dan payung merah menutupi mereka, angin juga bertiup menerbangkan kelopak-kelopak bunga.
Hwon berkata sambil tersenyum, “kalau tahu aku adalah Putera Mahkota, dia akan lebih cerewet”.
Tiba-tiba Hwon merasa sedih karena ia merasa tidak akan bertemu dengan Yeon Woo lagi. Saat Hwon melihat ke langit, ia kaget melihat payung merah itu tersangkut di atas pohon.
Sementara itu, Yeon Woo duduk di kamarnya dan membaca kertas tulisan Hwon yang berbunyi, “Lingkaran bila kugambar, kotak bila kutulis”.
Ia sedang memikirkan arti tulisan itu adalah ‘akan menjadi lingkaran bila kugambar dan menjadi kotak bila kutulis’.
Tulisan berikutnya berbunyi, “Lahir saat fajar dan mati saat senja. Kelinci akan hidup, tapi ayam akan mati?”.
Sebenarnya apa ini? Yeon Woo bingung, tidak mengerti maksudnya.
Saat itu, pelayannya, Seol masuk ke dalam kamar Yeon Woo mengantarkan minuman teh. Ia langsung bertanya pada Seol, apa yang akan terjadi kalau kelinci hidup dan ayam mati?
Seol hanya menjawab dengan polos, “Kalau ayam mati, apa yang akan membangunkan kita di pagi hari?”.
Seol mengingatkan Yeon Woo saatnya untuk tidur kalau tidak mau diomeli ayahnya lagi. Tapi Yeon Woo masih penasaran memikirkan arti dari pesan Hwon.
Pangeran Yang Myung lagi berjalan sendiri di luar tembok rumah Yeon Woo. Ia melihat sekelilingnya ke belakang dan ke depan, saat kondisi aman tidak ada orang ia langsung melompat ke atas tembok rumah Yeon Woo.
Ia duduk di sana sambil tersenyum memperhatikan kamar Yeon Woo yang masih menyala terang sinar lampunya.
Yang Myung kaget saat ia melihat Yeon Woo keluar dari kamarnya. Ia tetap duduk di sana memperhatikan Yeon Woo dengan penasaran dari kejauhan.
Yeon Woo keluar halaman sambil membawa surat Hwon. Ia berputar-putar ke kiri dan ke kanan mengarahkan surat Hwon tinggi-tinggi ke atas langit.
Ia berkata sambil berpikir dengan serius, “Kupikir aku bisa menemukan kata-kata yang tersembunyi di bawah sinar bulan”.
Ia berpikir keras jawaban dari Seol kalau ayam mati, apa yang akan membangunkan kita di pagi hari? Pagi? Fajar?
Lalu Yeon Woo mengulang kembali tulisan Hwon, “Lahir saat fajar dan mati saat senja?”
Kemudian ia berjongkok dan menggambar di tanah, “Kalau kugambar, akan menjadi lingkaran. Kalau kutulis, hurufnya akan berbentuk kotak”.
Dari situ ia mengulang lagi kalimat yang ditulis Hwon, “Sesuatu yang terbit saat fajar dan tenggelam saat senja?”
Ia mulai menemukan titik terang dan tersenyum gembira bergumam, “Siang. Siang hari. Matahari. Matahari?”
Ia ingat kembali kata-kata Hwon, “Kau tak mendengarkanku sekarang? Aku adalah negara ini, Chosun…”
Tiba-tiba Yeon Woo terkejut dengan jawabannya sendiri, “Matahari?”
Ia terhenyak kaget jatuh duduk di tanah dengan lemas sambil menghela nafas. Ia sadar bahwa orang yang ia temui tadi siang di istana yang disangka sebagai pencuri adalah Matahari, Sang Putera Mahkota.
Di istana Hwon menatap payung merah di langit dan berpikir dengan wajah girang, “Mungkinkah kita akan bertemu lagi?”
Yeon Woo yang jatuh terduduk di tanah berkata dalam hati dengan tenang, “Putera Mahkota, kau tahu? Aku sangat senang kita tak kan bertemu lagi.”
Pangeran Yang Myung yang memperhatikan Yeon Woo dari atas tembok berkata dalam hati, “Aku senang bertemu denganmu lagi, Heo Yeon Woo”.
Ia pun tersenyum senang.
(bersambung ke Episode 2)