Oleh Prihandoyo Kuswanto
GEGAP gempitanya para buzer bekerja untuk Tuannya yang ikut Pilpres membuat negeri ini ramai, saling mengejek, saling caci-maki, fitnah, sudah menjadi sarapan pagi. Gerombolan-gerombolan pendukung melakukan puja-puji seakan pemimpin yang mereka calonkan bak malaikat yang bisa membawa negeri ini lebih baik. Padahal, sistem pemilu dengan model judi seperti ini tak lepas dari bandar (judi), siapapun dia. Nasib bangsa diperjudikan.
Indonesia adalah satu-satunya negara yang dibentuk dengan Rahmat Tuhan dan didorongkan oleh keinginan luhur. Oleh sebab itu pendiri negeri ini meletakkan Pancasila sebagai dasar ilmu berbangsa dan bernegara. Bahkan, sistem bernegara pun diciptakan sendiri, bukan Parlementer maupun Presidensil, yakni kekuasaan tertinggi ada di MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Di MPR itulah kedaulatan tertinggi dijalankan dengan cara-cara bermusyawarah, demokrasi dengan bermusyawarah itulah demokrasi paling bernartabat.
Melalui amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali yang dilakukan antara 1999 sampai 2002, MPR telah merubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem Presidensial. Apakah sistem pemerintahan tersebut yang disusun oleh BPUPKI yang kemudian disahkan oleh PPKI dalam UUD 1945?
Bahkan jika kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi 1945 dianggap mundur? Bukannya mengamandemen UUD 1945 dari sistem MPR menjadi sistem Presidensial merupakan tindakan anarkis? Dan Makar?
Bukannya menghilangkan Penjelasan UUD 1945 merupakan tindakan memutus tali sejarah bangsanya?
Seperti yang diajarkan oleh Spihnoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai teori integralistik. Menurut pandangan teori ini, negara didirikan bukan untuk menjamin kepentingan individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan.
Negara adalah suatu masyarakat integral yang segala golongan, bagian dan anggotanya, satu dengan lainnya merupakan kesatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam kehidupan benegara menurut teori integral adalah kehidupan dan kesejahteraan bangsa seluruhnya.
Dengan model Bhineka Tunggal Ika itulah seluruh lapisan masyarakat terwakili, sehingga negara buat semua adalah konsepnya, yang kemudian diamandemen menjadi negara milik satu golongan saja, yaitu golongan partai politik.
Hal ini yang tidak disadari oleh kita semua sehingga kerusakan yang terjadi akibat negara hanya dikelola oleh satu golongan. Maka menggarong negeri ini juga dilakukan oleh mereka, karena satu golongan.
Bagaimana ada kontrol bernegara kalau eksekutif, legeslatif, yudikatif, dan pengusaha adalah satu golongan?
Keadaan seperti ini yang sedang terjadi di negeri ini. Jadi tidak heran kalau korupsi merajalela, kesenjangan antara si miskin dan si kaya semakin lebar, dan ketidakadilan adalah tontonan yang setiap hari dirasakan oleh rakyat.
Dasar dan bentuk susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa.
Karena itulah setiap negara membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik, hukum dan struktur sosialnya.
Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo dalam rapat BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indonesia yang akan dibentuk “… harus berdasar atas aliran fikiran negara yang integralistik (sic, maksud Prof. Soepomo adalah negara yang integral bukan integralistik!) … negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998; 55).
Dalam negara yang integral tersebut, yang merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia, menurut Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya.
Inilah interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong.
Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga.
Bung Hatta, berbeda dengan Bung Karno dan Prof. Soepomo, menerjemahkan faham kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan. Indonesia Intinya adalah semangat tolong-menolong atau gotong-royong.
Karena itu dalam pemikiran Bung Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok, yaitu milik bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme ala Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama. Jadi, kolektivisme oleh Bung Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan Bintang, 138-144).
Demokrasi asli Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura. Suatu forum untuk musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest. Suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa.
Negara kekeluargaan dalam versi Hatta, yang disebutnya Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks modern.
Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei – 1 Juli dan dari 10-17 Juli 1945, dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKT) pada 18-22 Agusutus 1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar negara (Setneg, 1998: 7-147).
Bung Karno, Bung Hatta dan Prof Soepomo adalah 3 tokoh yang menyatakan pembentukan negara Repbulik Indonesia didasarkan atas corak hidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem Presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem Presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.
Sistem MPR adalah menganut faham kekeluargaan, faham integralistik, maka MPR adalah lembaga yang beranggotakan seluruh elemen keluarga bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan bangsa Indonesia terdiri dari ribuan suku, bermacam-macam adat istiadat, bermacam-macam agama dan kepercayaan, bermacam-macam golongan.
Maka keanggotaan MPR adalah utusan-utusan golongan, utusan-utusan elemen masyarakat seluruh Indonesia. Tugasnya adalah membuat keputusan politik untuk kehidupan bersama secara gotong-royong. Politik rakyat itu adalah politik pembangunan yang terurai didalam GBHN.
Jadi dengan sistem MPR maka negara ini benar-benar dijalankan sesuai kehendak rakyat, sesuai dengan politik rakyat dan sudah tentu dengan kedaulatan rakyat dan kemerdekaan kedaulatan rakyat.
Setelah terbentuknya GBHN maka dipilihlah Presiden dan diberi amanah untuk menjalankan politik rakyat, menjalankan kehendak rakyat yaitu GBHN. Maka jika presiden melenceng dari GBHN, presiden bisa diturunkan. Di akhir jabatannya presiden harus mempertangungjawabkan apa yang sudah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan. Presiden tidak boleh menjalankan Politiknya sendiri, atau menjalankan politik golongannya sendiri.
Setelah Amandemen UUD 1945 keadaan menjadi kacau, sebab Pancasila yang seharusnya menjadi dasar negara diabaikan. Mana bisa demokrasi dengan pemilihan langsung yang jelas mempertarungkan dua kubu atau lebih disamakan dengan gotong-royong, disamakan dengan Persatuan Indonesia, disamakan dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Usaha mencangkokkan Pancasila dengan demokrasi liberal adalah bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila.
Perubahan kedaulatan di tangan MPR diganti dengan “Menurut Undang-Undang Dasar” menjadi sangat kacau. “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
UU dibuat oleh Presiden dan DPR, yang merupakan presentasi dari kedaulatan rakyat. Kita bisa bayangkan bahwa UU itu bisa dibatalkan oleh MK yang keanggotaan MK dipilih dari hasil Fit and Proper Test. Pertanyaannya, dimana kedaulatan rakyat itu? Berdaulat dimana rakyat, Presiden, DPR dengan MK?
Kita berjuang untuk kembali pada Konstitusi Proklamasi karena kita tahu sejarahnya, Undang-Undang Dasar itu adalah Undang-Undang Dasar seperti yang diucapkan oleh Bung Karno dalam laporan pembahasan UUD pada sidang BPUPKI;
…Alangkah keramatnja, toean2 dan njonja2 jang terhormat, oendang2 dasar bagi sesoeatoe bangsa. Tidakkah oendang2 sesoeatoe bangsa itoe biasanja didahoeloei lebih doeloe, sebeloem dia lahir, dengan pertentangan paham jang maha hebat, dengan perselisihan pendirian2 jang maha hebat, bahkan kadang2 dengan revolutie jang maha hebat, dengan pertoempahan darah jang maha hebat, sehingga sering kali sesoeatoe bangsa melahirkan dia poenja oendang2 dasar itoe dengan sesoenggoehnja di dalam laoeatan darah dan laoetan air mata.
Oleh karena itoe njatalah bahwa sesoeatoe oendang2 dasar sebenarnja adalah satoe hal jang amat keramat bagi sesoeatoe rakjat, dan djika kita poen hendak menetapkan oendang2 dasar kita, kita perloe mengingatkan kekeramatan pekerdjaan itoe.
Dan oleh karena itoe kita beberapa hari jang laloe sadar akan pentingnja dan keramatnja pekerdjaan kita itoe. Kita beberapa hari jang laloe memohon petoendjoek kepada Allah S.W.T., mohon dipimpin Allah S.W.T., mengoetjapkan: Rabbana, ihdinasjsiratal moestaqiem, siratal lazina anamta alaihim, ghoiril maghadoebi alaihim waladhalin.
Dengan pimpinan Allah S.W.T., kita telah menentoekan bentoek daripada oendang2 dasar kita, bentoeknja negara kita, jaitoe sebagai jang tertoelis atau soedah dipoetoeskan: Indonesia Merdeka adalah satoe Republik. Maka terhoeboeng dengan itoe poen pasal 1 daripada rantjangan oendang2 dasar jang kita persembahkan ini boenjinja: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatoean jang berbentoek Republik.”
Jadi sangat yakinlah kita bahwa UUD 1945 itu dibuat bukan dengan sementara, bukan dengan singkat, tetapi dengan ijin Allah SWT. Hal inilah yang tidak dibaca oleh pengamandemen UUD 1945.
Dengan demikian untuk menyelamatkan kapal besar Indonesia tidak ada jalan lain selain kembali pada Pancasila dan UUD 1945 asli. Butuh pemimpin yang kuat untuk melawan dan membersihkan oligarki dan korupsi seakar-akarnya.
*Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila