Oleh Anwar Hudijono
PERINTAH Allah jelas. Ayatnya muhkamat. Tertera di Quran surah As Shaf (61) ayat 14.
Terjemahannya begini: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia (hawariyun) itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.”
Sahabat Yesus Kristus, khsususnya 12 murid utama (mungkin juga 70 murid) disebut Al Quran dengan nama Hawariyun. Yang saya maksud Yesus di sini adalah okum yang sama dengan Isa Al Masih. Kalau ada yang menganggap Yesus dan Isa adalah okum yang berbeda itu mungkin kurang ngopi atau pengikut aliran ngeyelisme.
Tentang eksistensi Hawariyun (pengikut Isa) ini tampaknya Allah memberi perlakuan khusus sehingga perintah meneladani perlu disampaikan secara langsung dengan bahasa yang lugas. Hal ini menunjukkan betapa urgennya kisah mereka untuk dipelajari.
Salah satu urgensinya yang pertama adalah umat Islam perlu merefleksi bahwa kesejarahan para Hawariyyun bisa terulang kepada umat Islam di akhir zaman karena ayat Quran itu pada dasarnya berlaku abadi. Tidak temporer.
“Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Quran, Al Baqarah 66).
Kedua, agar umat Islam tahu bahwa murid-murid Yesus dengan pengikut Rasulullah Muhammad itu pada hakikatnya sama yaitu golongan muslimin (orang yang berserah diri kepada Allah). Sehingga kesejarahan eksistensial Rasul itu pada dasarnya sama yaitu Islam.
“Maka ketika Isa merasakan keingkaran mereka (Bani Israil), dia berkata, “Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama) Allah?” Para Hawariyyun menjawab, “Kamilah penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim.” (Quran, Ali Imran (3) 52).
Mereka ini memegang monoteisme (tauhid atau Tuhan yang esa). Terbaca jelas di Injil generasi awal yang disebut Syriac Sinaiticus Palimpsest yang ditulis Bapa gereja Tatian. Ayat pembukanya jelas tertulis: “Dengan nama Allah”.
Hawariyun bukan orang yang bersaksi bahwa Yesus adalah Tuhan. Bukan anak Allah dalam konteks biologis. Bukan pula Yesus sebagai reinkarnasi Allah. Bukan menyembah Trinitas. Juga bukan menyembah Maria sebagai salah satu persona Trinitas.
Mereka sama seperti Yesus yang menyembah Tuhan yang disembah Rasulullah Musa, Yakub, Iskak dan Ibrahim dan seluruh rasul dan nabi.
“Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Lalu, ahli Taurat itu berkata kepada Yesus, “Engkau benar, Guru. Engkau benar dengan mengatakan bahwa Dia adalah satu, dan tidak ada yang lain selain Dia.(Markus 12:32a)
“Pengikut Yesus sejati itu menyembah Allah Yang Esa. Bukan menyembah Trinitas (Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus). Konsep Trinitas itu baru lahir abad ke 2, 3, 4 masehi,” kata Pendeta Arianto dari sekte Unitarian.
“Pengikut Yesus itu pada dasarnya menyembah Tuhan Yang Esa. Tidak ada konsep Trinitas di kitab Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama,” tegas pendeta Yoshua Tewu.
Ketiga, agar umat Islam tahu siapa pengikut Yesus Kristus asli dengan Yesus Kristus palsu. Konsep Yesus Kristus palsu itu, menurut Ustad Manachem Ali, pakar kristologi dari Universitas Airlangga Surabaya, ditegaskan di Matius 14:26. Di dalam tradisi Kekristenan disebut Anti-Christ atau Masicha Dajjala. Dalam tradisi Islam disebut Al Masih Ad Dajjal.
Di antara ciri ajaran Anti-Christ itu mengaku pengikut Yesus tetapi membuang ajaran Yesus dan mengganti dengan ajaran sumber lain atau ajaran sendiri. Mengklaim menjalani ajaran Yesus tetapi sebenarnya bukan alias memalsukannya, bahkan bertentangan dengan ajaran Yesus. Mencampur aduk ajaran Yesus dengan isme lain.
Perang kosmik
Perikeberadaan Yesus dan para Hawariyun itu pada era sejarah di mana Tanah Israel dijajah imperium Romawi. Imperium ini menganut paham paganisme atau kekafiran. Mereka menyembah dewa-dewa, utamanya Dewa Baal atau Dewa Matahari. Menyembah berhala-berhala. Menyembah kaisar yang diyakini sebagai reinkarnasi dewa.
Mereka juga melakukan sembah-puja kepada pribadi-pribadi yang diyakini setengah manusia setengah dewa, atau sosok yang 100 persen manusia dan 100 persen dewa seperti banci kalau siang namanya Agus kalau malam Agnes. Paham ini berakar pada peradaban Helenisme Yunani.
Keberadaan imperium Romawi menjajah Yerusalem sejak awal berada pada dimensi perang kosmik. Perang bernilai keagamaan yang berisi kebenaran melawan kebatilan, perangnya tuhan dengan iblis, perang kekafiran lawan keberimanan, perang politiesme (syirik) melawan monoteisme (tauhid). Romawi ingin melenyapkan peradaban Israel yang bersumber pada tauhid.
Romawi mengubah bait Allah (Masjid Aqsha) dari tempat ibadah tauhid menjadi kuil persembahan kepada dewa-dewa, khususnya Dewa Baal. Sengaja menjadikan ritual menyembelih babi di Bait Allah untuk ngece umat Yahudi yang mengharamkan babi. Membunuh anak-anak yang disunat. Padahal bagi Yahudi sunat itu perjanjian dengan Tuhan sehingga hukumnya wajib.
Untuk itu, Romawi berupaya menghancurkan Yesus beserta ajarannya. Salah satunya melalui “operasi inteljen”. Lantas Romawi bersengkongkol dengan kalangan Yahudi kafir dan munafik. Operasi inteljen ini sukses menempatkan Yudas Eskariot di lingkaran pertama Yesus sampai menjadi salah satu dari 12 murid utama.
Langkah strateginya yang pertama adalah membunuh Yesus. Mereka merasa sukses karena menganggap sudah membunuh Yesus di tiang salib. Meski di antara mereka sendiri (khususnya elite Yahudi) juga ragu-ragu tentang siapa yang disalibkan.
Sampai-sampai ada yang mencurigai, cerita kematian dan kebangkitan Yesus itu diinspirasi oleh tradisi ritual musim semi Yunani Kuno. Dalam bukunya Sejarah Dunia yang Disembunyikan, Jonathan Black menulis, ada patung dewa yang diberi mahkota myrtle (semak yang selalu hijau). Dalam prosesi ritual mereka membawa obor dengan nyanyian dan tarian. Dewa itu dikurbankan dan mati selama tiga hari. Ketika Dewa itu bangkit dari kematian, kerumunan pendeta berteriak, Iachos .. Iachos .. Iachos.
Langkah strategi berikutnya adalah memberi opsi kepada murid-murid Yesus. Meninggalkan ajaran Yesus atau mati. Banyak di antara murid Yesus yang menjawab opsi itu dengan kalimat, “hidup mulia atau mati sebagai martyr (syahid)”.
Akibatnya bagi murid-murid memegang ajaran Yesus itu seperti menggenggam bara api. Dilepas berarti rugi dunia akherat, dipegang sangat berat dan menyakitkan.
Dalam tekanan Yesus-fobia yang sangat berat dari penguasa dan oligarki Yahudi, sampai ada juga murid yang akhirnya berkhianat. Misalnya Ananias. Dia termasuk 70 murid Yesus. Dia mendapat kedudukan sebagai pejabat hukum. Dia yang pertama kali mengakui Paulus sebagai rasul.
Dia membawa Paulus ke lingkaran murid utama Yesus karena Paulus sendiri bukan murid maupun pernah sekadar ketemu Yesus, sementara murid-murid Yesus yang lain mencurigai Paulus adalah agen spionase Romawi.
Ananias akhirnya mati dibunuh kaum Zealot, aktivis pejuang revolusioner kemerdekaan Bani Israel karena dia ini ketahuan sebagai komprador, menjual rakyat Yahudi kepada penjajah Romawi.
Menelan matahari
Setelah murid-murid utama Yesus seperti Johanes, Petrus, Yakobus, Stevanus dibunuh secara sadis dan mengerikan, Romawi terus melakukan operasi penghancuran ajaran Yesus.
Strateginya, lestarikan merek dan wadahnya tetapi ganti isinya. Prosesnya seperti malam menelan matahari. Dari terang benderang kemudian meredup, temaram, lembayung dan akhirnya gelap gulita sama sekali. Dalam Al Quran gelap gulita ini disebut: ghosikin idza waqab.
Di dalam gelap itu segala sesuatu tidak tampak jelas. Sehingga sulit dibedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Gelap adalah tempat menyimpan rahasia yang paling efektif. Gelap adalah tempat yang paling disukai serigala (simbol penindas, teror) dan rubah (simbol sihir) beroperasi. Gelap adalah kondisi paling disenangi pelaku kejahatan. Kegelapan hati adalah tempat berbiaknya iri dengki.
Gerakan global Islamfobia saat ini boleh dibilang mengulang sejarah para Hawariyun. Islam dan umat Islam berada dalam posisi yang sangat sulit. Dibuat takut, minder, kecut, keder dan tersipu-sipu. Kaum muslimin memegang Islam saat ini seperti menggenggam bara api.
Jangankan di negara sekuler seperti Eropa, Amerika, Kanada, bahkan di negara yang mayoritas penduduknya muslim pun terkadang sangat berat. Islam menjadi tersangka di negaranya sendiri.
Caci maki, olok-olok, sumpah serapah terhadap Islam seolah banjir yang tidak ada jeda. Selalu saja ada istilah untuk menghardik Islam. Mulai terorisme, radikalisme, eksklusifisme, kadrun. Pokoknya apapun istilah kalau sudah dikaitkan Islam menjadi negatif.
Misalnya, identitas itu milik semua kelompok, komunitas, organisasi. Tapi begitu identitas dikaitkan Islam lantas nilai pesannya jadi negatif. Sampai urusan orang shalat jumat pun disebut manggung.
Siapa dalang semua ini?
Allah sudah menunjukkan hal itu di Quran surah Al Maidah 82.
“Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (Quran, Al Maidah 82)
Yahudi yang mana? Tentu saja Yahudi kafir karena Quran sendiri menjelaskan adanya Yahudi mukmin.
Lantas orang musyrik ini siapa? Intinya sama dengan musyrik zaman Romawi yang menyembah sesembahan selain Allah, menganggap ada tuhan lain di samping Allah, yang menganggap Tuhan berinkarnasi sebagai manusia, Tuhan punya anak.
Gerakan global Islamfobia dengan segala variannya, akhirnya menjadi seleksi: “Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama) Allah?”
Apakah kita akan seperti para Hawariyun yang menjawab, “Kamilah penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim.”
Ataukah kita akan memilih menjadi Yudas Eskariot dan Ananias yang menjadi pengkhianat demi harta dan jabatan yang kemudian bersekutu dengan Yahudi kafir dan Romawi. Yang kalau dalam Quran, manusia demikian sudah ditunjukkan oleh Allah di surah Al Maidah 52).
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya.”
Rabbi a’lam
Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.