Penulis: Zulkarnaen | Editor: Muhammad Tauhid
MALANG, SWARAJOMBANG.com – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan jika pembangunan yang ada saat ini bukanlah pembangunan Indonesia, tetapi pembangunan di Indonesia.
Hal itu ditegaskan LaNyalla saat mengisi Kuliah Umum dengan tema Wawasan Kebangsaan dan Kewirausahaan, di Politeknik Negeri Malang (Polinema), Jumat (21/10/2022).
Hadir dalam acara tersebut Direktur Politeknik Negeri Malang Supriatna Adhisuwignjo, ST, MT, para Wakil Direktur, Ketua Senat dan jajaran, para Dosen dan para mahasiswa Politeknik Negeri Malang. Sedangkan Ketua DPD RI didampingi Ketua KADIN Provinsi Jawa Timur Adik Dwi Putranto.
LaNyalla mengingatkan kembali pesan Presiden Soekarno di awal kemerdekaan mengenai bagaimana negara mengelola kekayaan Sumber Daya Alam. Menurutnya, Bung Karno pernah berujar, biarlah cadangan kekayaan alam di Indonesia dipendam terlebih dahulu, sambil menunggu putra-putri Indonesia mampu mengelola dengan keahliannya.
“Artinya, konsepsi dasar pembangunan Indonesia memang seharusnya melibatkan putra-putri yang memiliki keterampilan dan skill untuk terlibat dalam pembangunan bangsanya. Itulah rumusan ideal yang seharusnya dijalankan,” kata LaNyalla.
Ia menjelaskan, kepentingan nasional suatu negara, terutama dalam konteks ekonomi, adalah di atas segala-galanya. Hal itulah yang membuat para pendiri bangsa merancang sistem ekonomi Indonesia sebagai negara yang memiliki keunggulan komparatif, yang berbeda dengan sistem yang diterapkan di negara-negara Barat maupun di Timur.
“Sistem ekonomi Indonesia dikenal dengan sistem ekonomi Pancasila. Yang secara hakikat, negara harus berkuasa penuh atas bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Termasuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak,” ujarnya.
Senator asal Jawa Timur itu melanjutkan, ada tiga pilar utama yang menggerakkan roda perekonomian Indonesia, yakni koperasi atau usaha rakyat, perusahaan negara dan swasta, baik nasional maupun asing.
“Tentu dengan pembagian yang tegas, antara wilayah public goods, yang mutlak harus dikuasai negara dan wilayah commercial goods untuk swasta, serta irisan di antara keduanya yang menggabungkan kerja bersama. Sehingga terjadi proses usaha bersama,” jelas LaNyalla.
Konsep itu tertuang dalam pasal 33 naskah asli UUD 1945 beserta Penjelasannya, sebelum konstitusi diubah total tahun 1999 hingga 2002 silam. Amandemen membuat nafas dan konsep perekonomian nasional kini lebih condong kepada sistem ekonomi liberal kapitalistik. Mekanisme ekonomi pun diserahkan kepada pasar.
“Akibatnya, orang per orang pemilik modal semakin kaya, termasuk modal asing. Negara pun tak lagi menguasai secara mutlak bumi air dan kekayaan alam,” papar LaNyalla.
Negara hanya berfungsi sebagai pemberi izin atas konsesi-konsesi yang diberikan kepada swasta nasional yang sudah berbagi saham dengan swasta asing. Negara mengandalkan pajak dan royalti yang sangat kecil dari perusahaan tersebut.
“Ini adalah konsep pertumbuhan ekonomi, di mana negara tak boleh terlibat dalam mekanisme pasar. Tentu sangat berbeda dengan konsep pemerataan ekonomi yang dirancang para pendiri bangsa,” bebernya.
Padahal, negara dengan keunggulan komparatif Sumber Daya Alam seperti Indonesia, seharusnya lebih mengutamakan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP bukan pada pajak rakyat.
Mantan Ketua Umum Kadin Jatim itu mencontohkan pembangunan smelter agar perusahaan tambang nikel tak mengekspor nikel mentah ke luar negeri. Menurutnya, yang membangun smelter adalah perusahaan Tiongkok, dengan memboyong tenaga kerja dari Tiongkok.
“Jadi, kalau dikatakan Tesla telah sepakat membeli nikel olahan dari Indonesia, itu artinya Tesla membeli dari perusahaan Tiongkok itu, yang kebetulan mendapat ijin untuk menguras nikel yang ada di bumi Indonesia,” jelas LaNyalla.
Sedangkan negara hanya mendapat pajak dari perusahaan. Lalu mendapat royalti yang sangat kecil dari nikel yang tambang, dan mendapat uang pungutan dari bea ekspor.
“Inilah mengapa APBN Indonesia selalu minus. Sehingga harus ditutup dengan utang luar negeri yang bunganya sangat tinggi,” ujar LaNyalla.
Padahal, kata LaNyalla, membangun Smelter hanya butuh biaya sekitar Rp10 triliun sampai Rp20 triliun. Negara pasti mampu membangun sendiri, karena alokasi untuk membangun jalan tol, jembatan, bendungan di Kementerian PUPR ratusan triliun rupiah setiap tahun dari APBN.
“Konsep dan sistem ekonomi yang dirancang para pendiri bangsa bukan itu. Itulah mengapa saya menawarkan gagasan tentang sistem demokrasi dan sistem ekonomi yang paling sesuai dengan bangsa ini. Dan, kita harus kembali kepada Pancasila,” demikian LaNyalla.