Penulis: Wibisono | Editor: Hadi S Purwanto
JOMBANG, SWARAJOMBANG.com – Konsolidasi lintas organisasi kontrol sosial yang dilakukan oleh belasan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kabupaten Jombang di penghujung tahun 2022 pada Sabtu, (24/12/2022) setidaknya sedikit menuai hasil positif.
Kejaksaan Negeri Jombang dalam menyikapi persoalan Ruko Simpang Tiga Jombang melakukan tekanan melalui pendekatan hukum dengan memberi deadline pembayaran kepada penghuni Ruko.
Spontan, penghuni Ruko pun akhirnya bergegas membayar, dalam hitungan dua hari sudah terkumpul 60 persen uang pembayaran sewa dari penghuni Ruko Simpang Tiga.
Pertemuan LSM Kota Santri itu bertema ‘Evaluasi Akhir Tahun Kinerja Pemkab Jombang’ dan bertajuk Polemik Ruko Simpang Tiga Tanpa Ujung’.
Acara yang dikemas dalam diskusi publik tersebut diprakarsai oleh Hendro Prasetyo Ketua LSM Gerakan Nasional Hebad ( GeNaH ) Jombang.
Dalam diskusi tersebut ada sebuah pernyataan yang sangat menarik.
Dwi Andika, Ketua LSM Almatar Jombang dalam forum diskusi tersebut melempar sebuah pertanyaan, apakah penghuni Ruko setelah membayar temuan BPK sebesar 5 miliar lebih kasus hukumnya yang sedang diproses di Kejaksaan bisa berhenti.
“Bisakah proses hukum berhenti setelah pemilik Ruko membayar uang sewa?” tanya Dwi panggilan akrabnya.
Suhartono, Ketua LSM Anti Korupsi Jombang merespons pertanyaan tersebut dengan sangat tegas mengatakan persoalan hukum tidak bisa ditawar-tawar.
“Bila kita amati, Kejaksaan Negeri Jombang dalam kasus Ruko Simpang Tiga ini bekerja atas nama Aparat Penegak Hukum (APH), bukan bekerja atas nama Tim Penyelamat Aset Daerah,” tegas Suhartono, Ketua LSM Anti Korupsi Jombang.
Suhartono melanjutkan argumentasinya, bahwa indikasi itu terlihat karena kasus rRko Simpang Tiga sekarang sedang berproses di Seksi Intel Kejaksaan, bukan di Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun).
“Kesimpulannya, Kejaksaan harus tetap melanjutkan kasus ini meskipun penghuni Ruko sudah membayar uang sewa,” tegas Hartono.
Sumber lain, seorang praktisi hukum yang tidak ingin disebutkan namanya juga mengatakan hal yang sama bila kasus Ruko Simpang Tiga bukan semata persoalan perdata.
“Bila Seksi Intel Kejaksaan sudah melakukan Pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan, red) yang kemudian diserahkan ke Seksi Pidsus, artinya unsur pelanggaran pidananya sangat kuat,” ungkapnya.
Ditanya apakah dengan sudah dibayarnya temuan BPK senilai Rp. 5 miliar oleh para penghuni Ruko berarti kasus hukum bisa terhapus.
“Pembayaran yang dilakukan oleh penghuni Ruko Simpang Tiga adalah bentuk itikad baik sebagai warga negara atas kewajibannya. Dalam konteks hukum pidana, seseorang bila terbukti sudah berniat melawan hukum yang dilakukan dengan sadar adalah perbuatan pidana,” kata praktisi hukum yang tergolong senior di Jombang ini.
Kepala Kejaksaan Negeri Jombang Tengku Firdaus, ketika dikonfirmasi oleh SWARAJOMBANG.com, kamis (29/12/2022) melalui sambungan selulernya membenarkan bahwa masalah Ruko Simpang Tiga berkasnya masih di bagian Seksi Intel.
Kajari juga meminta kepada para penghuni Ruko agar secepatnya membayar uang sewa sebelum jatuh tempo yang ditetapkan Kejaksaan.
Ketika ditanya apakah Kejaksaan dalam masalah Ruko Simpang Tiga bekerja atas nama bagian dari Tim Penyelamat Aset Daerah atau bekerja atas nama Aparat Penegak Hukum (APH), Firdaus menegaskan kejaksaan bekerja atas nama APH.
“Dalam hal ini kami bekerja sebagai APH
(Aparat Penagak Hukum,” jawab Tengku Firdaus singkat.
Menurut sumber yang dipercaya di Seksi Intel Kejari Jombang, bahwa deadline penghuni ruko hanya sampai pada hari Jumat tanggal 30 desember 2022.
“Bila tidak terpenuhi target pembayaran maka kasusnya pada hari jJmat 30 Desember dipastikan akan masuk ke ruang Pidsus,” ujar sumber tersebut.
Lutfi Utomo, Ketua LSM Kompak Jombang menanggapi masalah tersebut menegaskan, bahwa Lembaganya tidak tertarik sama sekali dengan progres pembayaran penghuni Ruko Simpang Tiga.
Dalam kasus ini dirinya meminta Kejari Jombang agar konsisten dengan kapasitasnya sebagai Aparat Penegak Hukum (APH). Untuk itu Lutfi meminra Kejari agar lebih fokus pada urusan pidananya.
“Bagi kami, penghuni Ruko mau membayar atau tidak hal tersebut tidak ada efek yang berdampak pada kasus hukumnya menjadi hangu,” ujar Lutfi.
Lutfi juga mengingatkan, adalah preseden buruk bagi penegakan hukum bila kemudian proses hukum hanya sekedar dijadikan alat shock teraphy.
Lutfi juga tidak ingin Lembaganya terjebak dalam polemik teknis pembayaran sewa Ruko, karena menurutnya tidak ada korelasinya dengan tindak pidana.
Ditandaskan oleh Lutfi, bahwa persoalan ini sangat esensial. Karenanya, Kejari Jombang harus tetap tegak lurus dalam memandang persoalan hukum dan dirinya akan mengawal terus perkembangannya.
“Kami akan pantau terus kasus ini, karena kami tidak ingin melihat kasus ini berhenti dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan, red) bila sudah masuk diranah Pidsus,” pungkasnya serius.