Redaksi SWARAJOMBANG.com | Editor: Hadi S Purwanto
JAKARTA, SWARAJOMBANG.com – Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva menuding krisis Ukraina terjadi akibat Barat tidak acuh sama sekali dengan masalah keamanan Rusia dengan menggunakan negara tetangganya itu sebagai instrumen politik dan militer melawan Moskow.
“Garis merahnya adalah, jika Ukraina menjadi bagian dari NATO. Kenapa? Ukraina memiliki perbatasan sepanjang dua ribu kilometer dengan Rusia. Jika rudal-rudal NATO di perbatasan kami, 3 menit bisa sampai Moskow,” katanya.
Vorobieva mengatakan, Rusia sendiri masih menganggap Ukraina sebagai saudara.
Dalam konflik kali ini, sama dengan sebelum-sebelumnya, Rusia tidak bermaksud mengincar warga sipil Ukraina.
Rusia, kata Vorobyova, bahkan hanya berniat mempertahankan warganya yang mendapat perlakuan diskriminatif Kyiv..
Yang di maksud oleh warga di sini adalah penduduk Luhansk dan Donetsk, dua wilayah di Donbas, timur Ukraina, yang mayoritas keturunan Rusia.
Vorobieva mengatakan, beberapa waktu lalu Rusia juga masih mencoba meyakinkan Barat, untuk membantu mencegah adanya perang.
Tetapi, saat tidak ada respons atas kekhawatiran ini, Presiden Vladimir Putin mendeklarasikan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina pada Kamis, 24 Februari 2022.
“Kami mencoba meyakinkan selama delapan tahun ini, Ukraina sekarang Anda tahu, kami sudah terlalu lama bersikap sopan, terlalu sopan, dalam kurun waktu yang lama,” katanya kepada Tempo.
Vorobieva juga menuduh pihak Barat telah mengubah Ukraina dan “pemerintahan bonekanya” menjadi anti-Rusia.
“Setelah tahun 2014, Barat mengubah Ukraina dan ‘pemerintahan bonekanya’ menjadi apa yang presiden kami sebut sebagai anti-Rusia,” kata Vorobieva.
Ia juga menuding Barat telah mempersenjatai Ukraina dan mencuci otak orang-orangnya.
“Mereka (Barat) melatih angkatan bersenjata mereka, mencuci otak orang-orang Ukraina bahwa Rusia adalah musuh mereka,” ujarnya.
Ia juga mengklaim bahwa pemerintah Ukraina mendukung ideologi Nazi yang tersebar luas di Ukraina.
Dubes Rusia pun mengaku tak habis pikir bagaimana ideologi yang dilarang dan dikutuk di seluruh dunia itu bisa berkembang di Ukraina.
“Dan Barat memilih menutup mata terhadap itu,” kata Vorobieva.
Ia juga mengatakan bukan hanya ideologi, tetapi juga ada ancaman fisik untuk semua orang Rusia yang tinggal di Ukraina, hanya karena berbicara bahasa Rusia.
Dubes Rusia itu menegaskan bahwa saat ini Ukraina telah berubah menjadi instrumen militer politik untuk melawan Rusia.
Padahal, menurutnya, saat Uni Soviet jatuh, Rusia telah melakukan perjanjian dengan Barat bahwa NATO tak akan memperluas pengaruhnya ke wilayah timur yang menjadi perbatasan negaranya.
Ia pun mempertanyakan alasan NATO memilih untuk memperluas wilayahnya hingga perbatasan Rusia, ketika tak ada lagi perbedaan ideologi antara Rusia dan Barat.
“Para pemimpin kami kemudian benar-benar menyarankan perjanjian tertulis bahwa NATO tidak akan melakukan ekspansi. Lalu, mengapa NATO harus melakukan ekspansi saat tidak ada lagi perbedaan ideologi antara Rusia dan Barat?” ujarnya.
Vorobieva pun mengatakan para pemimpin Barat telah berbohong kepada Rusia.
Ketika para pemimpin Rusia ingin menjalin kesepakatan terkait janji untuk tidak melakukan ekspansi, kata dia, pihak Barat meminta Rusia mempercayai mereka.
Tetapi kenyataannya tak sesuai dengan apa yang sebelumnya dikatakan
“Kami sudah mempercayai mereka, tapi mereka berbohong,” tukasnya.
Dubes Vorobieva pun mengklaim ada lima kali ekspansi NATO ke arah Rusia dari 1999 hingga 2020.
Ia menjelaskan mengapa Rusia menentang keberadaan NATO di dekat mereka, karena menurutnya NATO bukanlah pakta pertahanan, tapi pakta yang cukup agresif.
Ia pun mengingatkan apa yang sudah NATO lakukan di Yugoslavia, Libya serta Irak, dan apa yang dilakukan AS di Afghanistan.
“Salahkah jika kami merasa terancam?” tuturnya kepada KompasTv.
Ia menegaskan Rusia telah menggunakan usaha diplomatik dan dan berbagai jalan untuk meyakinkan NATO untuk memenuhi kewajiban mereka, tetapi itu tak pernah terjadi.
Sementara itu, Rusia telah memulai penyerangan ke Ukraina sejak Kamis, 24 Februari 2022.
Sebagai respons, pihak Barat telah memberikan sanksi kepada Rusia serta sejumlah individu negara itu karena melakukan penyerangan ke Ukraina.