Oleh Hernawan*
TIDAK ada yang tahu secara pasti, sejak kapan dan alasan apa suporter Persebaya dan Arema berseteru secara tak terkendali.
Telah banyak berjatuhan korban meninggal dunia, juga korban materi, baik di stadion maupun di luar stadion, bahkan di luar area Surabaya dan Malang.
Telah banyak tokoh-tokoh penting di Jawa Timur ini yang mencoba untuk mendamaikan dua kelompok suporter yang berseteru, sebut saja Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) sampai dengan Gubernur Jawa Timur, tapi tidak ada hasil.
Puncak dari perseteruan akhirnya meledak pada tanggal 1 Oktober 2022, yang viral dengan sebutan “Tragedi Kanjuruhan”.
Diawali dengan pertandingan derby Jawa Timur antara Arema Vs Persebaya yang berkesudahan kekalahan Arema dengan skor 2-3 dari Persebaya.Suporter Arema yang akrab disebut Aremania mulai turun ke lapangan untuk meluapkan rasa kecewanya.
Berhubung situasi dan kondisi menjurus kearah anarkis dan tidak terkendali, akirnya pihak keamanan melakukan tindakan represif, termasuk diantaranya menyemprotkan gas air mata, yang menurut penjelasan dari Kapolda Jatim, Irjen Pol Nico Afinta, tindakan itu sudah sesuai dengan protap.
Lalu siapa saja sebetulnya yang layak bertanggung jawab terhadap “Tragedi Kanjuruhan” Malang?
Menurut saya, Pertama adalah PSSI/LIB/INDOSIAR, karena jadwal jam pertandingan. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan pertandingan Arema Vs Persebaya kick of jam 20.00 malam.
Hal ini sebetulnya sudah direaksi oleh pihak keamanan, dengan mengirim surat permohonan pengajuan jam kick of menjadi jam 15.30 sore, dengan pertimbangan bila pertandingan dilaksanakan malam hari, akan rawan terjadinya hal hal yang tidak diinginkan, terutama keselamatan suporter kala pulang dari menonton.
Tapi permohonan tersebut ditolak oleh PT LIB sebagai penyelenggara pertandingan liga 1, dengan alasan jam tersebut sesuai dengan permintaan dari stasiun tv INDOSIAR sebagai pemegang hak siar, semata mata hanya untuk menaikkan rating.
Kedua, Panel Arema. Karena kapasitas stadion Kanjuruhan itu 38.000 penonton, tapi yang masuk stadion lebih dari 40 ribu orang atau penonton.
Kenyataan ini menimbulkan kesan seolah olah Panel hanya mengedepankan profit dan tanpa mengindahkan faktor keamanan dan kenyamanan penonton.
Juga bagaimana bisa masuknya senjata gas air mata kedalam stadion, sebab Panel itu harus paham aturan-aturan baik dari FIFA maupun PSSI.
Ketiga, Polisi. Karena menembakkan gas air mata.
Sesuai dengan aturan FIFA pun penggunaan gas air mata tidak diperbolehkan. Hal ini tertuang di FIFA Stadium Safety And Security Regulation pasal 19b.
Keempat, Koordinator Aremania. Karena tidak bisa mengendalikan anggotanya yang turun ke lapangan, hal ini jelas melanggar aturan PSSI.
Adakah dari PSSI, Panel, Pihak keamanan, Koordinator supporter Aremania yang berani secara gentle mengakui kesalahan, dan bertanggung jawab atas “Tragedi Kanjuruhan” Malang?
Patut kita simak bersama.
*Hernawan, Pemerhati Sepak bola.