Penulis: Anwar Hudijono | Editor: Ipong D Cahyono
JAKARTA, SWARAJOMBANG.com – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, banyak penderita Tubercolosis (TBC) yang berasal dari keluarga rentan miskin, miskin, dan rentan miskin ekstrem. Sehingga mereka perlu mendapatkan perhatian khusus dari segi pengobatan dan segi ekonomi dengan skema perlindungan sosial agar tidak jatuh menjadi miskin ekstrem.
Muhadjir mengatakan hal itu saat memberikan arahan dalam Kick Off Rapat Koordinasi Penanggulangan Tuberkulosis (TBC), yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Gedung Sasana Bhakti Praja Kantor Kemendagri dan dihadiri oleh seluruh Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota secara daring, pada Senin (10/6/2024).
Penyakit Tuberkulosis (TBC) merupakan permasalahan kesehatan yang saat ini jumlahnya masih sangat tinggi. Dari jumlah penderita, Indonesia menempati posisi kedua tertinggi di dunia setelah India. WHO Global Tubercolusis Report Tahun 2023 melaporkan, estimasi angka kejadian TBC di Indonesia sebanyak 1.060.000 kasus atau setara dengan 385 kasus per 100.000 penduduk.
“Dampak dari penyakit TBC bersifat multidimensi, tidak hanya pada kesehatan, namun juga secara psikologis, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, selain memastikan akses terhadap layanan kesehatan, kebijakan mitigasi biaya dan perlindungan finansial tambahan juga harus diberikan untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan miskin yang terdampak TBC,” ujar Muhadjir.
Menko PMK menjelaskan, untuk menangani multidimensi TBC, penanganan yang dilakukan pemerintah dimulai dengan screening dan tracking penderita untuk mendapatkan intervensi pengobatan, dan beberapa daerah juga telah melakukan jemput bola dengan Skrining mobile.
Kemudian agar tercapai keberhasilan pengobatan, dibutuhkan pula dukungan komplementer pengobatan meliputi pemberian nutrisi dan biaya transport ke fasilitas pelayanan kesehatan), dukungan psikososial, serta pemberdayaan ekonomi.
Selain itu, untuk mengetahui permasalahan TBC pada kelompok populasi miskin dan rentan miskin termasuk mengupayakan perlindungan pada kelompok populasi tersebut, Kemenko PMK bekerja sama dengan Kemenkes melakukan pemadanan Data P3KE dengan Data SITB (Sistem Informasi Tuberkulosis).
Dari data yang didapatkan, banyak penderita TBC yang berasal dari keluarga rentan miskin, miskin, dan rentan miskin ekstrem. Sehingga mereka perlu mendapatkan perhatian khusus dari segi pengobatan dan segi ekonomi dengan skema perlindungan sosial agar tidak jatuh menjadi miskin ekstrem.
Lebih lanjut, Muhadjir menyampaikan, pemerintah menargetkan Eliminasi TB tahun 2030. Sebagai bentuk keseriusan dalam menanggulangi TBC, pemerintah telah memiliki payung hukum, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 Tahun 2021 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis yang mengamanatkan membentuk Tim Percepatan Penanggulangan Tuberkulosis (TP2TB) dan Wadah Kemitraan Penanggulangan Tuberkulosis (WKPTB) di tingkat pusat serta membentuk TP2TB di provinsi/ kabupaten/kota.
Menko PMK menjelaskan, Target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2024 menargetkan angka kejadian TBC menjadi 297 per 100.000 penduduk pada tahun 2024. Sementara, Perpres No. 67 Tahun 2021 Tentang Penanggulangan TBC, menargetkan untuk eliminasi TBC pada tahun 2030, dengan penurunan angka kejadian menjadi 65 kasus per 100.000 penduduk dan angka kematian menjadi 6 jiwa per 100.000 penduduk.
Dikatakan, Presiden RI Joko Widodo berkomitmen tinggi dalam upaya percepatan penanggulangan tuberkulosis dan telah memberikan arahan dalam Ratas TBC pada Juli 2023, agar penanggulangan TBC digerakkan secara besar-besaran seperti penanggulangan COVID-19 untuk mencapai cita-cita Eliminasi TB 2030.
“Karena itu, Kemendagri perlu mengonsolidasikan provinsi/kabupaten/kota untuk mengimplementasikan percepatan penanggulangan TBC di daerah menuju Eliminasi TBC 2030. Saya ucapkan terima kasih kepada Mendagri, atas terselenggaranya kick off rakor monitoring evaluasi TBC mingguan ini, yang merupakan tindak lanjut dari arahan Bapak Presiden,” ungkapnya.
Muhadjir menyatakan, di sisa waktu enam tahun menuju Eliminasi tahun 2030 dan meraih cita-cita Visi Indonesia Emas 2045, perlu memperkuat upaya kolaborasi untuk percepatan penanggulangan TBC di tingkat pusat hingga daerah.
“Peran para kepala daerah sangat penting untuk memastikan terlaksananya 9 Tanggung Jawab Pemerintah Daerah dalam penanganan TBC sesuai amanah Perpres No. 67 Tahun 2021,” ujarnya.
Menurutnya, perlu upaya kolaborasi yang berdaya guna dan berhasil guna untuk dapat mencapai Eliminasi TBC tahun 2030, mengingat masih ada kesenjangan dalam implementasi program penanggulangan TBC.
“Dalam penanggulangan TBC, Pemerintah Daerah agar berkolaborasi dengan mitra organisasi kemasyarakatan, komunitas, organisasi profesi, dan organisasi lain yang berada di daerah masing-masing termasuk mitra-mitra WKPTB yang jejaringnya juga telah tersebar di wilayah Indonesia,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, hadir Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Jenderal Polisi (Purn) Muhammad Tito Karnavian; Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin; Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti; para Gubernur, Bupati, dan Walikota di Seluruh Indonesia yang hadir secara daring, dan para Pejabat Tinggi Madya dan Pratama Kementerian dan Lembaga.