Oleh Anwar Hudijono
SELURUH proses ibadah haji berlangsung hanya beberapa hari. Tetapi pada waktu yang sangat singkat itu merupakan momentum proses revolusi mental yang dahsyat. Spektakuler. Muaranya untuk menghadirkan perubahan yang lebih baik. Mengaktualisasi fitrah manusia.
Revolusi diri pada ibadah haji ini merupakan bagian esensi evolusi manusia menuju Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, sesungguhnya milik Allah dan sesungguhnya kepada Allah dikembalikan. Sangkan paraning dumadi (asal dan arah pergerakan kembali semua mahluk). Jadi haji itu menyegarkan kembali terhadap pengetahuan dan kesadaran hakikat penciptaan.
Doktrin itu tercermin dalam seluruh skenario haji. Bermula dari Kabah sebagai simbol Allah. Hidup bergerak menuju arafah (pengetahuan), masyaril haram (kesadaran), Mina (cinta) dan kembali ke Kabah. Dengan kembali kepada Allah maka Allah menjadi lebih dekat dari urat leher hamba-Nya.
Kenapa harus berubah? Sering tanpa disadari manusia menjalani kehidupan yang tidak seharusnya. Istilah Dr Ali Syariati dalam bukunya yang terkenal, Haji (Penerbit Pustaka 1995), hanya aksi pendular yang tanpa makna. Bersifat siklistis yang sia-sia. Pagi berganti sore. Malam berganti siang. Tidur diakhiri dengan bangun,bangun diakhiri dengan tidur. Begitu berulang-ulang.
Manusia sangat sibuk mencukupi kebutuhannya yang tidak pernah merasa tercukupi. Manusia asyik dengan berakting di dalam permainan dunia seperti kotak gabus di atas tarian ombak samudera tanpa arah tujuan. “Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan.” (Quran, Al Ankabut 64).
Apalagi kehidupan di ujung akhir zaman ini. Mata eksternal (fisik) begitu dimanja dengan medsos, kesenangan realitas palsu. Seolah waktu berjalan sangat cepat. Nyaris tiada waktu untuk bersabar dan khusyuk. Tak ada waktu merevitalisasi nafsu mutmainnah (kejiwaan yang tenang). “Wa kanal insanu ajula, dan memang manusia itu bersifat tergesa-gesa”. (Quran Al Isra 11). Tanpa sadar bahwa tergesa-gesa itu dekat dengan setan.
Akhirnya hidup hanya untuk hidup. Hidup yang demikian pada dasarnya boleh dibilang mati. Orang Jawa menyebutnya mati sajeroning urip (mati di dalam kehidupan). Secara fisik hidup, tetapi jiwanya sudah mati. Spritualitasnya kering kerontang. Unsur kemanusiaannya punah. Secara substansi manusia berubah menjadi “jazad”, seolah hidup padahal mati. Seperti jazad buatan Samiri (Quran, Thaha 88).
Terminologi jazad (juga tertera di surah As Shad 34. Menurut eskatolog Islam, Syekh Imran Hosein adalah Dajjal. Dajjal yang akan menjadi sumber fitnah-fitnah terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Salah satu misi Dajjal menghancurkan fitrah manusia.
Artificial intelligence
Ahli filsafat Shandell seperti dikutip Ali Syariati mengatakan, bahaya paling besar yang dihadapi umat manusia pada zaman sekarang bukan ledakan bom atom tetapi perubahan fitrah (sifat asasi)-nya. Unsur kemanusiaan di dalam dirinya sedang mengalami kehancuran sebegitu rupa sehingga pada saat ini tercipta sebuah ras non-manusiawi.
Inilah mesin berbentu manusia yang bukan ciptaan Tuhan dan bukan pula ciptaan alam. Manusia menjadi hamba yang tidak mengenal tuannya. Pada zaman now kira-kira manusia tidak ubahnya mesin artifical intelligence.
“Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk menghayati (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka memiliki telinga (tetapi) tidak dipergunakan mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Quran, Al Araf 179).
“Sesungguhnya mahluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah orang-orang kafir karena mereka tidak beriman.” (Quran, Al Anfal 55).
Seperti hujan
Maka, masa ibadah haji yang sangat pendek itu hendaknya menjadi seperti hujan yang turun meski hanya beberapa bentar untuk menghidupkan bumi.
“Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendului kedatangan rahmat-Nya (hujan) sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (Quran, Al Araf 57).
Harus ada prakondisi bumi yang bisa menyerap air hujan. Maka berangkat haji harus disiapkan kondisi jiwa raga. Bekal yang memadai. Bekal pengetahuan tentang haji. Ibadah tanpa dilandasi pengetahuan seperti orang buta berjalan di belantara.
Berangkat dengan dana yang halal. Berangkat haji dengan uang hasil korupsi, riba, menggunakan uang rakyat dengan memanfaatkan jabatan adalah sia-sia. Tidak ubahnya mencuci kain mori putih dengan air polutan. Tidak ada bedanya dengan menangkap air hujan dengan batu yang licin. Basah sebentar setelah itu kering kembali. Dan bekal terbaik adalah takwa.
“Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal.” (Quran, Al Baqarah 197).
Rahmat haji akan mengubah jiwa yang mati hidup kembali. Yang kurang subur menjadi lebih subur. Spritualitas yang gelap pekat akan kembali terang bercahaya. Al Araf 58 membuat analog kehidupan yang mendapat rahmat Allah itu seperti tanah yang subur.
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhan. Dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya tumbuh merana. Demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”
Paramater apakah bumi itu menjadi subur oleh hujan itu akan dilihat dalam jangka panjang. Berlangsung secara evolusif. Apakah mampu menumbuhkan tanaman dengan baik. Lantas tanaman itu bermanfaat bagi umat manusia dan semua mahluk Allah.
Intinya tanda-tanda haji mabrur itu akan terlihat dalam kehidupan seorang haji dalam proses kehidupan jangka panjang sampai akhir hayatnya menjadi manusia yang beriman dan beramal saleh.
Allah pasti akan menunjukkan tanda-tanda itu sebagai pembeda mana haji mabrur mana haji money laundring, haji status, haji selfie, haji jabatan, haji kamuflase bahkan haji maudlu (palsu). Allah tidak menyukai perbuatan yang mencampuradukkan yang benar dan yang batil.
Kita doakan agar semua jamaah haji tahun 2022 ini menjadi haji mabrur. Amin.
Astaghfirullah. Rabbi a’lam.
Anwar Hudijono, Wartawan Senior tinggal di Sidoarjo.