Penulis: Adi Wardhono | Editor: Priyo Suwarno
JAKARTA, SWARAJOMBANG.COM- Informasi mengenai persiapan Batang, Jawa Tengah, menjadi “Sichuan”-nya Indonesia dan pembangunan Kawasan Industri Strategis senilai Rp 13,3 triliun, demikian pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Ia menyampaikan setelah penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah China di Istana Merdeka, Jakarta, akhir Mei 2025.
Investasi senilai sekitar Rp 13,3 triliun untuk Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang berasal dari konsorsium BUMN yang tergabung dalam PT Kawasan Industri Terpadu Batang (PT KITB). Konsorsium ini terdiri atas PT Pembangunan Perumahan, PT Kawasan Industri Wijaya Kusuma, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, serta Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Batang.
Selain itu, investasi juga datang dari para tenant atau perusahaan yang menempati kawasan industri tersebut. Pada fase pertama seluas 450 hektare, sudah terisi 14 tenant dengan total realisasi nilai investasi mencapai Rp 6,8 triliun dan penyerapan tenaga kerja sekitar 14.880 orang.
Secara keseluruhan, hingga pertengahan 2024, sudah ada 18 perusahaan yang masuk dengan nilai investasi mencapai Rp 14,8 triliun dan menyerap 19.000 tenaga kerja.
Pemerintah melalui kementerian terkait juga berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur kawasan dengan investasi sekitar Rp 4 triliun yang dialokasikan untuk fasilitas pendukung seperti jalan tol, instalasi pengolahan limbah, dan reservoir air.
Dengan demikian, investasi Rp 13,3 triliun merupakan gabungan dari modal konsorsium BUMN pengelola kawasan, investasi dari perusahaan tenant, serta dukungan infrastruktur dari pemerintah.
Penandatanganan tersebut disaksikan langsung oleh Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Perdana Menteri China Li Qiang dalam rangka kunjungan resmi PM Li ke Indonesia.
Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan Kabupaten Batang, Jawa Tengah, untuk menjadi “Sichuan-nya Indonesia” dengan membangun Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang sebagai bagian dari kerja sama strategis dengan China.
Proyek ini melibatkan pembangunan kawasan industri seluas sekitar 4.300 hektare, dengan fokus pada klaster I seluas 3.100 hektare yang dibagi dalam tiga fase. Infrastruktur dasar di fase I seluas 450 hektare telah selesai dibangun.
Kerja sama ini merupakan bagian dari inisiatif “Two Countries, Twin Parks” (TCTP) antara Indonesia dan China, yang juga mencakup kawasan industri di Bintan dan Provinsi Fujian, China.
Nota kesepahaman (MoU) antara kedua negara telah ditandatangani dan disaksikan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri China Li Qiang di Istana Merdeka, Jakarta. Investasi minimal di Batang diperkirakan mencapai 3 miliar dolar AS dengan target penyerapan tenaga kerja lebih dari 100.000 orang.
Pembangunan kawasan industri ini didukung oleh berbagai fasilitas, termasuk jaringan gas pipa transmisi yang mulai beroperasi sejak 2024. Pemerintah berharap proyek ini dapat memperkuat rantai pasok kedua negara dan mendatangkan investasi besar, sekaligus menjadi pusat industri dan teknologi yang mendorong pertumbuhan ekonomi regional dan nasional.
Nilai investasi kawasan industri strategis ini mencapai sekitar Rp 13,3 triliun, menegaskan komitmen pemerintah dalam mengembangkan Batang sebagai pusat industri yang kompetitif dan berdaya saing tinggi seperti Sichuan di China.
Model kerja sama China-Indonesia dalam proyek Batang mengadopsi konsep “Two Countries, Twin Parks” (TCTP), yaitu pembangunan kawasan industri ganda yang saling terhubung di kedua negara.
Dalam model ini, Indonesia membangun kawasan industri terpadu di Batang, Bintan, dan Aviarna, sementara China mengembangkan zona investasi di Fuzhou, Fujian.
Kedua kawasan ini dirancang untuk saling melengkapi dalam rantai industri, rantai pasok, dan rantai nilai dengan fokus pada sektor-sektor seperti perikanan laut, pertanian tropis, industri ringan dan tekstil, mesin dan elektronik, serta pertambangan hijau.
Kerja sama ini memanfaatkan keunggulan masing-masing negara: Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah dan biaya tenaga kerja yang relatif rendah, sedangkan China memiliki teknologi pengolahan maju dan pasar konsumen besar.
Contohnya, produk kelapa segar dari Indonesia diimpor ke China untuk diproses lebih lanjut di kawasan industri di Fujian. Selain itu, proyek ini juga mencakup pembangunan fasilitas logistik seperti pusat penyimpanan rantai dingin untuk mendukung distribusi produk secara besar-besaran.
Manajemen dan pengembangan kawasan dilakukan secara kolaboratif dengan berbagi pengalaman modernisasi dan teknologi antara kedua negara.
Model ini juga bertujuan mendorong pertukaran budaya dan pengembangan ekonomi berkelanjutan serta memperkuat hubungan strategis di bawah inisiatif Belt and Road (BRI). Hingga kini, lebih dari 70 proyek bilateral telah berjalan dengan total investasi yang signifikan, menandai keberhasilan awal dari model kerja sama ini. **